Juli 25, 2025

Ungkapkriminal.com

Diandalkan dan ditargetkan

826,40 Hektar Disita Negara: Di Balik Lahan Non-Tanaman Kehutanan yang Jadi Rebutan

Keterangan Foto: Spanduk resmi penertiban kawasan hutan seluas 826,40 hektar oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) terpampang di area hutan tanaman industri Pulau Rupat, Riau. Spanduk ini mencantumkan logo berbagai lembaga negara seperti KLHK, Kejaksaan Agung, Kementerian ATR/BPN, Kepolisian RI, BPKP, dan instansi lain, sebagai bentuk koordinasi lintas sektor. Bertuliskan larangan tegas terhadap aktivitas tanpa izin, termasuk memasuki, merusak, mencuri hasil hutan, hingga menguasai lahan secara ilegal. Landasan hukumnya mengacu pada Peraturan Presiden RI No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.

Ketika Negara Turun Tangan, Pertanyaannya: Siapa yang Selama Ini Menguasai?

Rupat, Bengkalis, Riau – Spanduk besar berlogo institusi negara berdiri tegas di tengah hamparan hutan industri Pulau Rupat. Tertulis jelas: “Lahan Non-Tanaman Kehutanan Seluas 826,40 Ha Ini Dalam Penguasaan Pemerintah Republik Indonesia, C.q. Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH).” Landasan hukumnya: Perpres No. 5 Tahun 2025.

Namun publik bertanya: mengapa negara baru bertindak sekarang? Siapa yang sebelumnya menguasai?

Investigasi UngkapKriminal.com mengungkap bahwa lahan ini semula berada dalam kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), namun secara ironis, justru berubah fungsi menjadi lahan non-kehutanan yang ditanami komoditas lain, bahkan diduga dikuasai pihak swasta secara diam-diam.

Simbol-simbol institusi dalam spanduk—dari KLHK, Kejaksaan Agung, Kementerian ATR/BPN, Kepolisian RI, hingga BPKP—menandakan adanya koordinasi lintas sektor untuk menertibkan kawasan yang diduga kuat telah menjadi ajang eksploitasi, perambahan, dan penguasaan tanpa izin.


Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Pakar hukum agraria dari UGM, Prof. Dr. Yance Arizona, S.H., LL.M., menjelaskan:

“Kawasan non-tanaman dalam HTI kerap menjadi celah penyimpangan. Negara mengambil alih itu artinya ada indikasi kuat bahwa penguasaan sebelumnya melanggar hukum. Publik berhak tahu siapa pelaku sebenarnya.”

Sementara itu, warga lokal Desa Titi Akar, Arman, mengaku lahan itu dulunya milik masyarakat:

“Kami dulu berkebun di sana. Tapi suatu hari ada yang tanam akasia, lalu katanya itu jadi kawasan industri. Sekarang tiba-tiba jadi milik negara. Kami bingung, siapa yang bermain?”


⚖️ Landasan Hukum & HAM

Pengambilalihan ini berlandaskan:

Perpres RI No. 5 Tahun 2025 – Penertiban Kawasan Hutan

UU No. 18 Tahun 2013 – Pemberantasan Perusakan Hutan

UU No. 5 Tahun 1990 – Konservasi SDA Hayati dan Ekosistem

UNDRIP (Deklarasi PBB Hak Masyarakat Adat) – Hak atas tanah & sumber daya

Jika terbukti ada praktik perampasan atau penguasaan ilegal, pelaku dapat dijerat pasal pidana kehutanan dengan ancaman:

Penjara hingga 15 tahun

Denda maksimal Rp10 miliar


Catatan Intelektual Presisi Redaksi

Langkah negara melalui Satgas PKH patut diapresiasi, namun tidak boleh berhenti pada pemasangan spanduk semata. Yang dibutuhkan adalah transparansi hukum, audit legal tanah, dan perlindungan hak masyarakat lokal.

Pertanyaan publik harus dijawab secara terang:

Siapa yang menguasai sebelumnya?

Adakah dugaan korporasi besar di balik konversi fungsi lahan?

Bagaimana akuntabilitas pemerintah daerah setempat?

Jika penguasaan selama ini dilakukan oleh pihak tak bertanggung jawab, maka penegakan hukum harus menyasar mereka—bukan hanya mengamankan aset negara, tapi juga mengembalikan hak rakyat dan menjaga kedaulatan hutan.


📖 Penutup – Spirit Profetik: Tanah Adalah Amanah, Bukan Barang Rampasan

“Dan janganlah kamu memakan harta orang lain dengan jalan yang batil dan kamu membawa (urusan) itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 188)

“Barang siapa yang merampas tanah orang lain walaupun hanya sejengkal, maka Allah akan membenamkannya ke dalam tujuh lapis bumi pada hari kiamat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)