
Ketika Negara Turun Tangan, Pertanyaannya: Siapa yang Selama Ini Menguasai?
Rupat, Bengkalis, Riau – Spanduk besar berlogo institusi negara berdiri tegas di tengah hamparan hutan industri Pulau Rupat. Tertulis jelas: “Lahan Non-Tanaman Kehutanan Seluas 826,40 Ha Ini Dalam Penguasaan Pemerintah Republik Indonesia, C.q. Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH).” Landasan hukumnya: Perpres No. 5 Tahun 2025.
Namun publik bertanya: mengapa negara baru bertindak sekarang? Siapa yang sebelumnya menguasai?
Investigasi UngkapKriminal.com mengungkap bahwa lahan ini semula berada dalam kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), namun secara ironis, justru berubah fungsi menjadi lahan non-kehutanan yang ditanami komoditas lain, bahkan diduga dikuasai pihak swasta secara diam-diam.
Simbol-simbol institusi dalam spanduk—dari KLHK, Kejaksaan Agung, Kementerian ATR/BPN, Kepolisian RI, hingga BPKP—menandakan adanya koordinasi lintas sektor untuk menertibkan kawasan yang diduga kuat telah menjadi ajang eksploitasi, perambahan, dan penguasaan tanpa izin.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Pakar hukum agraria dari UGM, Prof. Dr. Yance Arizona, S.H., LL.M., menjelaskan:
“Kawasan non-tanaman dalam HTI kerap menjadi celah penyimpangan. Negara mengambil alih itu artinya ada indikasi kuat bahwa penguasaan sebelumnya melanggar hukum. Publik berhak tahu siapa pelaku sebenarnya.”
Sementara itu, warga lokal Desa Titi Akar, Arman, mengaku lahan itu dulunya milik masyarakat:
“Kami dulu berkebun di sana. Tapi suatu hari ada yang tanam akasia, lalu katanya itu jadi kawasan industri. Sekarang tiba-tiba jadi milik negara. Kami bingung, siapa yang bermain?”
⚖️ Landasan Hukum & HAM
Pengambilalihan ini berlandaskan:
Perpres RI No. 5 Tahun 2025 – Penertiban Kawasan Hutan
UU No. 18 Tahun 2013 – Pemberantasan Perusakan Hutan
UU No. 5 Tahun 1990 – Konservasi SDA Hayati dan Ekosistem
UNDRIP (Deklarasi PBB Hak Masyarakat Adat) – Hak atas tanah & sumber daya
Jika terbukti ada praktik perampasan atau penguasaan ilegal, pelaku dapat dijerat pasal pidana kehutanan dengan ancaman:
Penjara hingga 15 tahun
Denda maksimal Rp10 miliar
Catatan Intelektual Presisi Redaksi
Langkah negara melalui Satgas PKH patut diapresiasi, namun tidak boleh berhenti pada pemasangan spanduk semata. Yang dibutuhkan adalah transparansi hukum, audit legal tanah, dan perlindungan hak masyarakat lokal.
Pertanyaan publik harus dijawab secara terang:
Siapa yang menguasai sebelumnya?
Adakah dugaan korporasi besar di balik konversi fungsi lahan?
Bagaimana akuntabilitas pemerintah daerah setempat?
Jika penguasaan selama ini dilakukan oleh pihak tak bertanggung jawab, maka penegakan hukum harus menyasar mereka—bukan hanya mengamankan aset negara, tapi juga mengembalikan hak rakyat dan menjaga kedaulatan hutan.
📖 Penutup – Spirit Profetik: Tanah Adalah Amanah, Bukan Barang Rampasan
“Dan janganlah kamu memakan harta orang lain dengan jalan yang batil dan kamu membawa (urusan) itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 188)“Barang siapa yang merampas tanah orang lain walaupun hanya sejengkal, maka Allah akan membenamkannya ke dalam tujuh lapis bumi pada hari kiamat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
More Stories
Perusakan Kawasan HPT oleh Oknum Teridentifikasi: Jejak Kejahatan Lingkungan yang Menggulung Desa Muara Dua
DUGAAN KEJANGGALAN DANA BOS & LKS DI SDN 12 MAREDAN BARAT: KEPSEK ERNIYATI BUKA SUARA, REDAKSI UNGKAPKRIMINAL.COM TETAP DALAMI JEJAK TRANSPARANSI
LAPOR PAK KAPOLDA RIAU: DUGAAN PENANGKAPAN TANPA SURAT PERINTAH, WARGA KAMPUNG PULAU MERASA DIKRIMINALISASI