
Oleh Tim Investigasi UngkapKriminal.com
Dr. Ninik Rahayu, mantan Ketua Dewan Pers periode 2022–2025, mengungkap fakta mengejutkan: 87 persen jurnalis perempuan menjadi korban kekerasan seksual digital dalam tiga tahun terakhir. Ia menilai bahwa sistem perlindungan dan penanganan kekerasan terhadap jurnalis belum berjalan secara menyeluruh dan efektif, terlebih dalam menjamin keselamatan di ruang digital.
Lebih lanjut, data dan laporan menunjukkan banyak kasus kekerasan jurnalis mandek di tahap penyelidikan, tanpa kepastian hukum maupun pemulihan bagi korban. Situasi ini memunculkan keprihatinan akan lemahnya kehadiran negara dalam menjamin kebebasan pers dan HAM.
Dr. Ninik Rahayu, SH, MS – Mantan Ketua Dewan Pers RI 2022–2025.
Dewan Pers – Saat ini tengah membentuk Satuan Tugas Nasional Perlindungan Keselamatan Jurnalis (SATNAS).
Institute for Media & Society (IMS) – Mitra Dewan Pers dalam membentuk SATNAS.
Jurnalis Indonesia – Terutama perempuan, sebagai kelompok paling rentan.
Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum – Diminta bertanggung jawab atas lemahnya penindakan hukum.
Fakar Media dan HAM Internasional – Salah satunya Prof. Dr. David Kaye (mantan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi).
Pernyataan disampaikan 14 Mei 2025 di Jakarta dalam acara serah terima jabatan Ketua Dewan Pers. Namun, kekerasan terjadi di berbagai daerah di Indonesia—terutama di ruang digital, media sosial, dan aplikasi kerja jurnalis.
Menurut Dr. Ninik, kegagalan membangun sistem perlindungan menyeluruh menyebabkan kekerasan berulang. Ketika pelaku tak dijerat hukum, budaya impunitas berkembang, dan jurnalis kehilangan rasa aman dalam menjalankan tugas konstitusionalnya.
Prof. David Kaye dalam laporannya untuk PBB menyebut:
“Negara yang gagal melindungi jurnalis, sedang membiarkan demokrasi dirampas secara perlahan.”
Dewan Pers dan IMS kini membentuk SATNAS, bertujuan mengintervensi langsung kasus kekerasan jurnalis sejak tahap pelaporan, penyelidikan, hingga pemulihan psikososial korban. SATNAS diharapkan bekerja lintas lembaga, termasuk dengan LPSK, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan aparat penegak hukum.
Namun, tantangan implementasi dan independensi tetap besar. Dr. Ninik menekankan:
“SATNAS harus bekerja berbasis keberpihakan pada korban dan bukan sekadar jargon kelembagaan.”
Analisis Hukum: Kegagalan Negara Lindungi Jurnalis
Landasan hukum nasional:
Pasal 8 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers: “Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.”
Pasal 28F UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi…”
UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Landasan hukum internasional:
Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR): Hak atas kebebasan berekspresi dan keamanan jurnalis.
Resolusi PBB 2222/2015 tentang Perlindungan Jurnalis dalam Konflik.
Deklarasi Universal HAM Pasal 19.
Catatan Intelektual Presisi Redaksi UngkapKriminal.com
Ketika seorang jurnalis diserang karena profesinya, yang dilukai bukan hanya tubuh dan mentalnya, tetapi juga integritas demokrasi. Angka 87 persen korban perempuan di ranah digital bukan sekadar statistik—itu cermin kegagalan negara menjamin amanat konstitusi.
Pembentukan SATNAS harus dikawal publik agar tidak menjadi kosmetik lembaga. Jika negara sungguh-sungguh, maka tindakan tegas terhadap pelaku, transparansi penanganan, serta dukungan pemulihan korban harus menjadi prioritas mutlak.
UngkapKriminal.com berdiri bersama jurnalis korban kekerasan, seraya tetap berpegang pada prinsip praduga tak bersalah bagi terduga pelaku, sampai terbukti melalui mekanisme hukum yang sah.
Penutup: Cahaya dari Al-Qur’an dan Hadis
“Dan janganlah kamu campuradukkan antara yang hak dan yang batil dan (janganlah) kamu sembunyikan yang hak padahal kamu mengetahuinya.”
(QS. Al-Baqarah: 42)
Maknanya: Kebenaran harus ditegakkan dengan terang, dan jurnalis sebagai penjaga kebenaran wajib dilindungi oleh hukum dan negara.Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)
Artinya: Membela korban kekerasan dan melawan impunitas adalah bagian dari jihad lisan dan nurani.
Redaksi | UngkapKriminal.com
Profesional, Intelektual, Tajam, dan Berimbang demi Keadilan dan Kemanusiaan
DIMANA PUNGSI UUD ?
Berikut adalah undang-undang nasional Indonesia serta pasal-pasal hukum dan instrumen HAM internasional yang menjamin kebebasan pers:
I. Dasar Hukum Nasional Indonesia
- Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 28F
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
Pasal 2
“Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.”
Pasal 4 ayat (1)
“Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.”
Pasal 4 ayat (2)
“Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.”
Pasal 8
“Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan memiliki Hak Tolak untuk melindungi sumber informasi.”
II. Instrumen Hukum dan HAM Internasional
- Universal Declaration of Human Rights (UDHR) / Deklarasi Universal HAM – 1948
Pasal 19
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyebarluaskan informasi dan ide melalui media apa pun dan tanpa memandang batas-batas negara.”
- International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) / Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik – 1966
(Indonesia telah meratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005)
Pasal 19 ayat (2)
“Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan dari segala jenis, tanpa memandang batas, baik secara lisan, tertulis atau tercetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain pilihannya.”
Pasal 19 ayat (3)
Kebebasan ini dapat dibatasi hanya jika diperlukan untuk:
Menghormati hak atau reputasi orang lain;
Melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan masyarakat, atau moral publik.
- Declaration of Principles on Freedom of Expression in Africa (African Commission on Human and Peoples’ Rights, 2002) dan Inter-American Declaration on Freedom of Expression (2000)
Kedua dokumen ini memperkuat standar internasional bahwa kebebasan pers adalah bagian integral dari demokrasi dan HAM. - UN Human Rights Committee – General Comment No. 34 (2011)
Dokumen interpretatif atas ICCPR Pasal 19, menegaskan bahwa:
“Freedom of expression includes journalistic freedom and media independence, essential for a democratic society.”
Catatan Tambahan:
Prinsip Johannesburg (1995)
Menyatakan bahwa pembatasan terhadap kebebasan pers hanya sah jika diperlukan dan proporsional untuk melindungi kepentingan yang sah seperti keamanan nasional.
UNESCO sebagai badan PBB yang mengurusi pendidikan dan budaya menegaskan:
“Free, independent and pluralistic media is the foundation of democratic societies.”
More Stories
Kontroversi TNI Produksi Obat: Ancaman Sipilisasi Militer dan Etika Publik?”
Siapa Kasmudjo? Asisten Dosen atau Saksi Akademik Jokowi? Menelusuri Jejak Akademik di Tengah Sorotan Publik”
Bayang-Bayang Kekuasaan: Menyingkap Oligarki Politik dan Operasi Senyap Dinasti Jokowi 2014–2024