Juli 4, 2025

Ungkapkriminal.com

Diandalkan dan ditargetkan

Laksamana Suara Rakyat: Ultimatum dari Laut untuk Kursi MPR

Keterangan Foto: > (Kiri) Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, mengenakan pakaian resmi kenegaraan; (Kanan) Laksamana TNI (Purn.) Slamet Soebijanto, mantan Kepala Staf Angkatan Laut RI, berseragam lengkap dengan tanda kehormatan negara. (Tengah) Logo investigatif MEDIA UNGKAP KRIMINAL dan simbol merah-putih peta Indonesia sebagai penanda narasi nasional dalam sorotan publik dan kekuatan suara moral rakyat.

Oleh: Tim Investigasi Profetik UngkapKriminal.com
Headline Nasional | Jakarta, 3 Juli 2025

Gelombang penolakan terhadap kepemimpinan nasional terus menguat. Suara keras kini datang dari tokoh militer senior, Laksamana TNI (Purn.) Slamet Soebijanto, mantan Kepala Staf Angkatan Laut, yang secara terbuka menyatakan kesiapan untuk menggerakkan kekuatan moral bangsa jika proses hukum tidak kunjung dijalankan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Pernyataan Slamet disampaikan dalam forum terbatas yang dihadiri para tokoh purnawirawan, akademisi, dan pegiat konstitusi. Ia menilai keberadaan Gibran di pucuk kekuasaan merupakan pelanggaran prinsip etika kenegaraan dan dugaan penyimpangan konstitusi yang bersifat sistemik. Kritik ini merujuk pada sorotan publik pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan pencalonan Gibran dalam Pilpres 2024, yang dianggap banyak pihak sebagai manipulasi hukum dengan konflik kepentingan yang nyata.

Slamet menyebut bahwa kekuatan rakyat dan moral konstitusional harus bangkit ketika hukum negara tumpul terhadap kekuasaan. Ia mengajak seluruh elemen sipil dan patriotik untuk tidak membiarkan lembaga tinggi negara dikuasai secara turun-temurun oleh satu dinasti politik. Dalam pernyataannya, ia tidak hanya menuntut dimakzulkannya Gibran, namun juga memberi sinyal kesiapan menduduki Majelis Permusyawaratan Rakyat secara konstitusional apabila pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat terus berlangsung.

Sinyal ini memicu respons publik. Sejumlah akademisi dari UI, UGM, dan Unair menilai bahwa pernyataan Slamet tidak bisa dipandang sebagai ancaman fisik, melainkan sebagai bentuk ekspresi politik yang dijamin dalam kebebasan berpendapat dan hak rakyat untuk membela konstitusi. Pakar hukum tata negara, Prof. Dr. Zainal Arifin Mochtar, menyatakan bahwa seruan tersebut harus dipahami sebagai tanda darurat demokrasi. Jika jalur hukum dihambat atau dikooptasi, maka tekanan sipil menjadi mekanisme koreksi dalam sistem demokrasi yang sehat.

Dari sisi hukum, tuntutan pemakzulan Gibran harus melewati prosedur konstitusional melalui DPR dan MPR sesuai Pasal 7B UUD 1945. Namun realitas politik menunjukkan bahwa dominasi koalisi penguasa membuat jalur ini nyaris mustahil ditempuh secara adil. Dalam konteks itu, tekanan dari masyarakat sipil dan suara moral dari tokoh-tokoh nasional menjadi alat kontrol terakhir untuk mencegah terjadinya konsolidasi kekuasaan absolut.

Gerakan moral Laksamana Slamet bukan yang pertama. Sejak era reformasi, sejarah mencatat bahwa tekanan sipil dan moral dari militer purnawirawan pernah menjadi katalis perubahan politik, termasuk dalam jatuhnya Orde Baru. Namun tantangan saat ini lebih kompleks, karena penyimpangan dibungkus secara rapi dalam kemasan hukum dan demokrasi prosedural yang dilumpuhkan oleh politik dinasti.

Hingga saat ini, belum ada respons resmi dari Istana Wakil Presiden maupun dari MPR. Beberapa elite partai justru memilih bungkam atau menyebut kritik sebagai tindakan subversif. Namun di tengah sunyi elite, suara rakyat dari bawah mulai menggema. Aksi mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil terus bergulir di berbagai kota besar, membawa satu pesan yang sama: selamatkan konstitusi sebelum semuanya terlambat.

[Catatan Intelektual Presisi Redaksi]

Kebebasan menyampaikan pendapat dijamin konstitusi. Namun penggunaan kekuatan—apapun bentuknya—harus tetap berada dalam rel hukum dan demokrasi. Pernyataan Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto menjadi cambuk moral untuk semua lembaga negara agar tidak bersembunyi di balik kekuasaan. Bangsa ini tidak bisa terus diam saat hukum dijadikan alat politik dinasti. Praduga tak bersalah tetap kami junjung, namun suara peringatan dari laut nurani tak boleh diabaikan.

           [ Penutup Profetik ]

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.” (QS. Hud: 113)
Makna: Diam terhadap kezhaliman adalah bagian dari kezhaliman itu sendiri. Keadilan harus ditegakkan, meski harus melawan arus kekuasaan.

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan; jika tidak mampu, maka dengan lisan; jika tidak mampu, maka dengan hati. Dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Makna: Suara nurani bukan kejahatan, tetapi kewajiban iman dalam menjaga bangsa dari kemungkaran kekuasaan.