
Oleh: Tim Intelektual Investigatif UngkapKriminal.com
Bengkalis, Riau – Di tengah sunyinya bangunan megah yang terbengkalai dan menyisakan luka batin masyarakat, suara rakyat kini menggema bukan lagi lewat petisi atau demonstrasi, melainkan dalam bentuk komentar emosional yang meledak-ledak di media sosial.
Salah satu komentar yang viral di Facebook menyuarakan kemarahan demikian:
“Saya pribadi ada uang pajak saya di sana. Ku sumpahkan tujuh turunan keluarga yang memakan uang Islamic Duri itu. Mudahan ditabrak Fuso atau mobil dinasnya.”
Pernyataan ini, meski menggambarkan rasa kecewa yang otentik, juga menyisakan tanya: sampai di mana batas wajar kemarahan publik? Dan bagaimana cara mengarahkan kemarahan itu agar menjadi energi perubahan, bukan kutukan yang mematikan nurani?
Jeritan Rakyat dalam Bahasa Kutukan
Proyek Duri Islamic Center yang menghabiskan dana sekitar Rp 40 miliar, namun berakhir menjadi monumen kesia-siaan, telah menorehkan luka psikologis pada warga. Mereka merasa dikhianati. Rasa memiliki telah berubah menjadi rasa dilukai.
“Uang kami dijadikan prasasti kebohongan. Ini bukan sekadar proyek gagal, ini penghinaan terhadap kepercayaan rakyat,” kata Ahmad R., warga tempatan yang geram namun enggan mengutuk.
Namun sayangnya, di ruang-ruang publik digital, ekspresi kecewa tak selalu disalurkan dalam bahasa adab. “Ini era digital, rakyat bukan cuma marah, tapi melaknat!” ujar pengamat media sosial, Dr. Nina Hafsah, dosen komunikasi politik Universitas Paramadina.
Membedakan Marah dan Mendoakan Celaka
Menurut Prof. Dr. A. Zulkarnain, MA, ahli etika publik dan filsafat politik UIN Syarif Hidayatullah, marah adalah hak. Tapi mendoakan celaka, terlebih membawa sumpah tujuh turunan, menjadi cermin rusaknya kompas moral dalam perjuangan sipil.
“Kemarahan yang tak diolah hanya akan menjadi cermin dari ketidakberdayaan kita. Padahal, rakyat punya senjata mulia: hukum, logika, dan adab,” ujar Zulkarnain.
Hal senada disampaikan Komnas HAM dalam pernyataan tahun 2023: “Ekspresi kebebasan harus tunduk pada etika kemanusiaan dan tanggung jawab moral.”
Hukum dan Etika: Dua Sayap Rakyat dalam Demokrasi
Dalam konteks hukum, Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyatakan bahwa penghinaan dan pencemaran nama baik dapat dijerat hukum. Walaupun pasal ini kontroversial, namun publik perlu menyadari bahwa kritik beradab lebih berpengaruh daripada hinaan murahan.
Masyarakat berhak mengkritisi proyek mangkrak ini dengan mendesak:
Pemeriksaan ulang oleh BPK-RI Perwakilan Provinsi Riau
Audit forensik independen oleh inspektorat
Penyelidikan KPK atau Kejaksaan
Tetapi semua ini perlu dilakukan melalui kanal hukum dan advokasi profesional, bukan melalui kutukan personal.
Catatan Intelektual Redaksi
Kami di UngkapKriminal.com memahami dan mendengar suara Anda. Kekecewaan itu nyata, luka itu dalam. Tapi kami percaya, kebenaran tak lahir dari kemarahan liar, melainkan dari keberanian bersuara dengan kecerdasan dan integritas.
Bangunan yang mangkrak bisa dibangun ulang. Tapi jika etika publik ikut rusak karena sumpah serapah, maka peradaban akan runtuh bahkan sebelum fondasi keadilan ditegakkan.
📖 Penutup dengan Nilai Qurani dan Nabawi:
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuat kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
— (QS. Al-Maidah: 8)“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
— (HR. Bukhari dan Muslim)
Kami mengajak semua pihak untuk mengawal kebenaran secara bermartabat. Kritiklah dengan keras, tapi jangan kehilangan akhlak. Tanyakan: siapa yang bertanggung jawab? Tapi jangan jatuhkan harga diri kita sebagai bangsa dengan sumpah kebencian.
✍️ UngkapKriminal.com akan terus berdiri bersama rakyat, tapi juga akan tetap berdiri di garis etika dan intelektualitas.
More Stories
Rp 40 Miliar Mangkrak: Sorotan BPK-RI atas Proyek PUPR Bengkalis 2024
Rocky Gerung Bongkar Kondisi Psikis Jokowi: “Gangguan Psikosomatik, Bukan Sekadar Alergi!”
Diamnya Penghulu Buantan Lestari: Sinyal Buruk untuk Transparansi Dana ADK, DD & CSR 2023–2025?