
Oleh Tim Investigatif – UngkapKriminal.com
📰 Breaking Headline Investigative||
Jakarta, Dunia Internasional ||
Di tengah riuhnya wacana pemerintah menaikkan pajak rakyat kecil, seekor monyet—or lebih tepatnya “simbol suara nurani bangsa”—tiba-tiba muncul di layar publik dengan jari telunjuk menuding tajam:
“Sita aset kekayaan para koruptor, daripada rakyat terus diperas!”
Sebuah satire visual yang kini viral di ruang publik, menggugah akal sehat dan rasa keadilan. Pertanyaan moral bergema: Mengapa rakyat kecil terus dikejar pajak, sementara para koruptor justru bergelimang harta hasil kejahatan?
Pelaku utama yang jadi sorotan bukan sekadar “monyet dalam gambar”, melainkan para koruptor berdasi yang rakus merampas harta negara.
Kritik keras atas kebijakan fiskal yang lebih menekan rakyat kecil daripada menindak tuntas penjarahan uang negara.
Isu ini mencuat dari pusat ekonomi dan politik Jakarta, namun dampaknya dirasakan rakyat di seluruh pelosok nusantara hingga mencuri atensi media internasional.
Ketika rakyat masih terseok dalam himpitan inflasi, harga pangan, dan kebutuhan dasar, pemerintah justru melempar wacana kenaikan pajak.
Karena korupsi masih merajalela. Berdasarkan data Transparency International (2024), Indeks Persepsi Korupsi Indonesia stagnan di angka 34/100, artinya praktik korupsi masih kuat mencengkeram.
Alih-alih fokus memburu aset koruptor yang mencapai triliunan rupiah, kebijakan cenderung memilih jalan pintas: menyasar dompet rakyat kecil.
Suara Pakar dan Perbandingan Internasional
Prof. Jeffrey Winters (Northwestern University, AS), ahli oligarki dunia, pernah menegaskan:
“Di Indonesia, masalah bukan sekadar korupsi, tapi oligarki yang melindungi korupsi.”
Bandingkan dengan Korea Selatan, di mana mantan presiden Park Geun-hye dipenjara dan asetnya disita untuk membayar denda korupsi. Atau China, di mana pejabat korup dihukum berat sekaligus disita hartanya untuk negara.
Pertanyaan: Mengapa di Indonesia koruptor masih bisa tersenyum di balik jeruji, bahkan sebagian menikmati hasil kejahatannya?
⚖️ Landasan Hukum
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 18 ayat (1): “Hakim dapat memutuskan perampasan barang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi…”
Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) 2003
Indonesia sebagai negara pihak, wajib melakukan asset recovery (pengembalian aset hasil korupsi).
Namun dalam praktik, perampasan aset sering mandek, sementara pajak terus digenjot.
Catatan Intelektual Presisi Redaksi
Satire “monyet bicara” ini sejatinya adalah cermin nurani bangsa. Binatang dianggap “lebih waras” dibanding manusia yang korupsi. Satire ini mengoyak ironi: alam dan hewan menjerit, rakyat meringis, sementara koruptor tertawa manis.
Investigasi kami menemukan indikasi bahwa aset koruptor triliunan rupiah masih tersebar di luar negeri, di properti mewah, rekening offshore, hingga tambang gelap. Namun fokus kebijakan justru kembali ke rakyat kecil.
📖 Penutup Profetik
Al-Qur’an menegaskan:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil…”
(QS. Al-Baqarah: 188)
(Makna: Larangan keras memakan harta orang lain dengan cara curang atau zalim, termasuk korupsi.)
Rasulullah SAW bersabda:
“Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi)
Artinya jelas: Korupsi adalah pengkhianatan terhadap Tuhan, rakyat, dan kemanusiaan.
Kesimpulan Investigatif
Mungkin benar, “monyet” itu bukan sekadar satire. Ia adalah suara hati rakyat yang muak:
Sita aset koruptor!
Stop jadikan rakyat kecil sebagai sapi perah pajak!
Inilah jihad kalam investigatif: suara kebenaran yang tidak boleh lagi dibungkam.
Breaking Investigative – UngkapKriminal.com
“Kebenaran memang bisa dibungkam, tapi nurani tak akan pernah mati.”
More Stories