
UngkapKriminal.com – Bengkalis
Pada 1 Oktober 2025, di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Desa Petani, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis, selembar plang peringatan kembali ditancapkan dengan seremonial penuh protokol. Dari Kapolres Bengkalis hingga perwakilan forkopimda hadir, menyemen tiang, menandai kawasan itu sebagai “status quo” – wilayah larangan segala bentuk aktivitas yang berpotensi memicu bencana asap lintas batas: kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Simbol yang Sarat Pesan
Kapolres Bengkalis, AKBP Budi Setiawan, menegaskan dalam doorstop singkat bahwa plang permanen ini bukan sekadar papan informasi, melainkan simbol komitmen hukum dan moral. “Lokasi ini berstatus quo, tidak diperbolehkan aktivitas apa pun. Penanganan karhutla adalah tanggung jawab kita bersama, bukan hanya Polri,” ujarnya.
Namun, publik kritis kembali bertanya:
Apakah plang ini benar-benar bisa menjadi benteng terakhir melawan api yang setiap tahun menjerat Riau dalam kabut asap? Atau sekadar dekorasi birokrasi yang akan lapuk diterpa hujan sebelum semangat penegakan hukumnya tumbuh?
Antara Upacara dan Realitas
Tidak dapat dipungkiri, pemasangan plang karhutla ini adalah tindak lanjut dari arahan Kapolda Riau setelah distribusi plang serupa pada 24 September 2025 lalu di Pekanbaru. Dalam teori, langkah ini selaras dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 69 ayat (1) yang melarang pembukaan lahan dengan cara membakar. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar (Pasal 108).
Di sisi lain, hukum internasional pun menggariskan bahwa bencana asap lintas batas termasuk pelanggaran hak asasi manusia, karena merampas hak atas kesehatan dan lingkungan hidup yang bersih sebagaimana diatur dalam Deklarasi Stockholm 1972 dan Prinsip 1 Rio Declaration 1992.
Namun, fakta di lapangan sering berbicara lain. Meski spanduk larangan terpampang di mana-mana, titik api kerap muncul kembali di hutan-hutan gambut. Papan larangan tidak cukup menakutkan bagi kepentingan ekonomi yang rakus, bila penegakan hukum tidak diiringi konsistensi dan transparansi.
Suara Kritis Akademisi
Dr. Nurul Hidayati, pakar lingkungan dari Universitas Indonesia yang saya hubungi via telekonferensi, menyatakan:
“Simbol-simbol itu penting untuk edukasi publik, tetapi tidak boleh berhenti pada seremoni. Tanpa pemetaan konflik lahan, transparansi korporasi, dan pemberdayaan masyarakat adat, plang itu hanya jadi papan sunyi di tengah hutan. Negara harus hadir tidak hanya dengan semen dan besi, tapi dengan keadilan ekologis.”
Sementara itu, perwakilan masyarakat sipil di Bengkalis menambahkan: “Kami ingin bukti nyata, bukan lagi janji. Asap itu bukan teori, dia masuk ke paru-paru anak kami.”
Praduga Tak Bersalah dan Harapan
Sebagaimana asas praduga tak bersalah, artikel ini tidak menuduh siapa pun sebagai pelaku karhutla. Namun, publik berhak mengawasi dan mempertanyakan apakah tindakan yang dilaporkan benar-benar menyentuh akar masalah, atau sekadar menambal luka di permukaan.
Sejarah mencatat, karhutla bukan hanya bencana ekologis, tetapi juga tragedi kemanusiaan. Oleh karena itu, menjaga hutan bukan sekadar program, melainkan jihad moral yang diwariskan untuk generasi mendatang.
Catatan Intelektual Presisi Redaksi
Plang larangan hanyalah pintu awal. Yang dibutuhkan bangsa ini adalah keberanian menegakkan hukum tanpa pandang bulu, termasuk pada pemilik modal besar. Apabila tidak, maka papan itu hanya akan menjadi saksi bisu bahwa negeri ini kalah oleh api dan kerakusan.
Penutup Profetik
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
(QS. Al-A‘raf [7]: 56)
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
Dan Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya dunia ini hijau dan indah, dan Allah menjadikan kalian khalifah di dalamnya. Maka Allah melihat bagaimana kalian memperlakukannya.” (HR. Muslim).
Makna Profetik: Menjaga hutan bukan sekadar kebijakan, melainkan amanah Ilahi. Ia adalah ujian akal dan nurani manusia, apakah memilih jalan keserakahan atau jalan rahmat.
More Stories
Jokowi, Ijazah, dan Polemik Publik: Analisis Refly Harun Bongkar Agenda Politik
Dapur MBG DPR: Misteri 71 Triliun, Serapan Minim, Transparansi Dipertanyakan
Camat Bathin Solapan Muhammad Rusydy Jawab Konfirmasi Resmi Soal Demo Warga Pamesi: “Pemerintah Berdiri untuk Rakyat”