Oktober 23, 2025

Ungkapkriminal.com

Diandalkan dan ditargetkan

Misteri di Balik Dana Pemda Mengendap: Ketika Rp 233 Triliun ‘Tidur’ di Bank, Rakyat Menunggu Hidup

Keterangan Foto: Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri saat memimpin rapat koordinasi tingkat nasional membahas sinergi kebijakan fiskal dan tata kelola pemerintahan daerah di Jakarta. Pertemuan ini menyoroti pentingnya transparansi anggaran, akuntabilitas publik, serta penegasan peran pemerintah daerah dalam mendukung stabilitas ekonomi nasional. 🕊️ Foto dokumentasi resmi – UngkapKriminal.com | Fakta Bukan Drama.

Jakarta — UngkapKriminal.com | Investigasi Profetik Intelektual
Oleh: Tim Intelengy Presisi Redaksi

Waktu berjalan, rakyat bekerja, dan angka tetap membisu di layar perbankan.
Rp 233 triliun—jumlah fantastis yang seharusnya berdenyut dalam pembangunan daerah—justru memilih tidur nyenyak di ranjang dingin deposito bank.

Pada Senin, 20 Oktober 2025, Menteri Dalam Negeri membuka tabir yang telah lama digunjingkan publik. Dalam rapat resmi bersama sejumlah kepala daerah, Mendagri mengungkap alasan dana pemerintah daerah (Pemda) mengendap di bank hingga ratusan triliun rupiah. Bukan karena tak ada program, katanya, tapi karena proses birokrasi, perencanaan, dan ketidaksiapan pelaksanaan di lapangan yang membuat uang rakyat mandek.

Namun, di balik alasan administratif itu, publik mencium aroma paradoks:
Mengapa di saat rakyat masih bergelut dengan harga pangan, sekolah rusak, dan infrastruktur tak tuntas, justru uang pembangunan disimpan rapi—menghasilkan bunga bagi bank, bukan hasil bagi masyarakat?

Dana yang “Tak Bekerja”
Dana daerah sebesar Rp 233 triliun yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan, masih mengendap di rekening pemerintah daerah di berbagai bank.

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan, hampir seluruh provinsi dan kabupaten/kota memiliki sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) yang besar, namun tidak segera digunakan.

Fenomena ini bukan baru. Setiap tahun, menjelang akhir anggaran, angka dana mengendap terus meningkat, menandakan sistem penyerapan anggaran yang tidak efektif.

Uang-uang tersebut tersebar di berbagai bank daerah dan nasional, mengendap seperti danau yang tenang—namun membisu.

Ada alasan klasik: proses tender yang lambat, perubahan kebijakan, hingga kehati-hatian kepala daerah terhadap potensi kasus hukum. “Banyak kepala daerah takut tersandung hukum, jadi mereka menahan realisasi,” ujar seorang pakar kebijakan publik, Dr. H. Firdaus Rahman, dalam wawancara eksklusif dengan UngkapKriminal.com.

Akibatnya, realisasi pembangunan terhambat. Padahal, menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, setiap rupiah dalam APBD wajib digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Tinjauan Hukum dan HAM Internasional

Dalam perspektif Hak Asasi Manusia Ekonomi dan Sosial, sebagaimana termaktub dalam Pasal 11 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Bila dana publik disimpan tanpa memberi manfaat, maka sesungguhnya terjadi pengingkaran terhadap mandat keadilan distributif.

“Ketika uang publik menganggur di bank, itu bukan hanya masalah fiskal, tapi etika sosial dan moral pemerintahan. Itu bentuk pengkhianatan terhadap hak rakyat,” tegas Prof. Dr. Anwar Karim, LL.M., pakar hukum internasional dari Leiden University.

Satire Profetik: Dana Tidur di Bank, Nurani Tidur di Singgasana

Sebuah paradoks getir tersaji:
Ketika pejabat berbicara efisiensi, rakyat justru memikul beban dari janji yang tak kunjung nyata.
Apakah uang Rp 233 triliun itu takut turun ke bumi? Ataukah tangan-tangan manusia yang terlalu gemetar untuk menggerakkannya?

Negeri ini tidak kekurangan dana—ia kekurangan keberanian moral.
Sebab di balik dana yang mengendap, tersembunyi “iman pembangunan” yang menipis di dada para pengelola kekuasaan.

Catatan Intelektual Presisi Redaksi

Fenomena dana mengendap bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan refleksi dari krisis manajemen tata kelola publik.
Dalam negara hukum modern, setiap rupiah rakyat adalah amanah.
Menahan penggunaannya tanpa alasan mendesak sama saja menahan denyut kehidupan rakyat kecil.

Pemerintah daerah dan pusat perlu membangun mekanisme percepatan penyerapan yang akuntabel, berbasis kinerja dan transparansi. Bukan sekadar angka serapan, tetapi manfaat nyata di lapangan.

Penutup Profetik: Nurani dalam Cermin Angka

“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim…”
(QS. Al-Baqarah: 188)

Artinya: “Janganlah kamu pergunakan harta untuk kebatilan atau menahan hak orang lain, karena itu menjerumuskan pada kezaliman dan kehancuran.”

Sementara Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

“Setiap pemimpin adalah penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Rp 233 triliun bukan sekadar angka—ia adalah ujian nurani.
Apakah para pemimpin daerah siap menjawabnya di hadapan rakyat… dan di hadapan Tuhan?

UngkapKriminal.com
Presisi Intelengy – Investigasi Profetik Intelektual Global untuk Keadilan dan Kebenaran.