
Subjudul: Desakan Revisi UU Diajukan ke Prabowo Subianto demi Luruskan Sejarah
Oleh Tim Investigasi
Ungkapkriminal.con
2 JUNI 2025
By , IRMA
Jakarta – Indonesia
Sejarah bukan hanya catatan masa lalu, tapi pijakan moral dan intelektual untuk menentukan arah bangsa ke depan.
Di tengah hiruk-pikuk demokrasi prosedural, jihad kalam terus berkobar: mengoreksi penyesatan sejarah demi menegakkan kebenaran. Salah satu isu krusial yang mencuat kembali adalah kapan sebenarnya Pancasila lahir secara sah dan konstitusional: 1 Juni atau 18 Agustus?
Isu ini bukan sekadar akademik, tapi berdampak pada legitimasi ideologis dan hukum bangsa. Para pakar hukum tata negara dan sejarawan kembali menyuarakan perlunya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Hari Lahir Pancasila, yang hingga kini mencantumkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.
UU No. 12 Tahun 2022 secara resmi menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Namun, narasi sejarah dan landasan hukum menunjukkan bahwa Pancasila secara yuridis konstitusional baru lahir pada 18 Agustus 1945, saat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan UUD 1945 yang di dalamnya termuat rumusan final Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945.
Salah satu suara paling keras datang dari Dr. Margarito Kamis, pakar hukum tata negara, yang menegaskan bahwa:
> “Pancasila yang sah secara hukum itu lahir pada 18 Agustus 1945, bukan 1 Juni. Kalau negara tetap mengakui 1 Juni, itu artinya mengingkari fakta sejarah dan hukum.”
Sejarawan Dr. Anhar Gonggong pun menambahkan bahwa pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 hanyalah konsep pribadi, bukan hasil keputusan resmi negara.
Perdebatan ini mencuat pasca era reformasi, ketika banyak wacana sejarah dibuka kembali untuk dikaji secara lebih kritis. Namun, puncaknya adalah saat Presiden Joko Widodo mengesahkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila melalui Keputusan Presiden pada 2016, yang kemudian diperkuat dengan UU No. 12/2022. Kontroversi pun berlanjut.
Berdasarkan risalah BPUPKI, pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 memang menyebut kata “Pancasila”, namun rumusannya berbeda dengan yang kemudian disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945. Misalnya, pada 1 Juni urutan sila berbunyi:
> “1. Kebangsaan, 2. Internasionalisme, 3. Mufakat, 4. Kesejahteraan, 5. Ketuhanan.”
Sedangkan dalam UUD 1945, rumusan final berbunyi:
> “1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan, 3. Persatuan, 4. Kerakyatan, 5. Keadilan Sosial.”
Perbedaan ini bukan semantik. Ini menyangkut landasan filosofis dan teologis bangsa, serta keabsahan hukum dan konstitusi.
Menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra, keabsahan konstitusional suatu ideologi tidak bisa didasarkan pada pidato pribadi, melainkan pada keputusan resmi yang mengikat. Jika tidak diluruskan, maka legitimasi hukum negara bisa dipertanyakan.
> “Kalau kita bicara negara hukum, maka kita harus jujur pada sejarah hukum kita. Pancasila sah secara hukum itu yang ada dalam Pembukaan UUD 1945, disahkan 18 Agustus.” (Prof. Yusril, wawancara TVRI, 2023)
Bagaimana Solusi Hukumnya?
Desakan kini mengarah pada Presiden Terpilih 2024, Prabowo Subianto, agar menginisiasi revisi terhadap UU No. 12/2022, menggantikan tanggal 1 Juni dengan 18 Agustus sebagai Hari Lahir Pancasila.
Bahkan, dalam kajian akademik Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Gadjah Mada tahun 2023, direkomendasikan:
> “Negara perlu meninjau ulang dasar hukum penetapan Hari Lahir Pancasila agar sesuai dengan prinsip kejujuran sejarah dan kepastian hukum.”
Kebenaran sejarah seharusnya menjadi dasar kebijakan negara, bukan simbol politis semata.
Permintaan Revisi UU
Aktivis hukum dan tokoh masyarakat sipil, seperti Marwan Batubara dan Ahmad Khozinudin, telah mengajukan permintaan resmi revisi UU ini ke DPR dan Menkopolhukam. Mereka menilai UU yang ada saat ini cacat historis dan inkonstitusional.
Landasan Hukum dan HAM Internasional
1. Pasal 28E UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap.”
2. Pasal 19 DUHAM PBB (1948): “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.”
3. ICCPR Pasal 19 (1966): “Hak atas kebebasan berekspresi mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi.”
Catatan Intelektual Presisi Redaksi
Kami menilai, desakan untuk merevisi UU No. 12/2022 bukanlah upaya politisasi sejarah, melainkan bentuk jihad intelektual demi kejujuran akademik dan konstitusionalitas negara hukum. Tidak ada maksud meremehkan jasa Bung Karno, justru sebaliknya: dengan meluruskan sejarah, kita menghormati perjuangan beliau secara objektif dan utuh.
Penutup Spiritual Qurani dan Hadis
Sebagai bangsa yang menjunjung nilai-nilai Ketuhanan, mari kita renungkan dua pesan suci ini:
> “Dan janganlah kamu campuradukkan yang benar dengan yang salah dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, sedang kamu mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 42)
> “Katakanlah yang benar walau itu pahit.”
(HR. Ibnu Hibban – Shahih)
More Stories
“Momen Prabowo Tolak Menteri Bahlil Saat Berikan Emas Batangan”?!
“Laporkan Para Maling Uang Rakyat!” – Seruan Tegas Presiden Prabowo?!
AZAB PEMBOHONG DAN AWAL KEHANCURAN KETIKA DI DUNIA