
🖋️ Oleh Tim Investigative-Intelligency
UngkapKriminal.com
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Empat pulau kecil yang secara administratif selama ini tercatat dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, kini secara resmi masuk ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Penjelasan ini disampaikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, pada Selasa, 10 Juni 2025 di Kompleks Istana Negara. Tito menyebut bahwa keputusan tersebut telah melalui proses panjang, melibatkan sedikitnya delapan lembaga pusat, dan telah mendapatkan “kesepakatan batas darat” antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah.
Namun, masyarakat Aceh mempertanyakan: mengapa wilayah Aceh bisa ‘dilepaskan’ ke provinsi lain tanpa transparansi publik? Apakah ini sekadar urusan batas administratif biasa, atau justru mencerminkan karut-marut dan bobroknya tata ruang nasional kita?
Siapa Saja yang Terlibat?
Menurut pernyataan Mendagri Tito, proses ini melibatkan “banyak pihak”, meski ia tidak merinci delapan instansi yang disebut. Biasanya, dalam kasus batas wilayah, pihak yang dilibatkan termasuk:
Kementerian Dalam Negeri
Kementerian ATR/BPN
BIG (Badan Informasi Geospasial)
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
TNI AL (soal pertahanan wilayah laut)
Pemerintah Daerah terkait
DPR (jika menyangkut undang-undang pemekaran)
Namun, dalam hal ini, tidak ada pernyataan resmi apakah masyarakat Aceh, DPR Aceh, atau Gubernur Aceh dilibatkan secara aktif atau tidak. Di sinilah letak kecurigaan publik menguat: apakah ini bentuk baru “rekayasa batas” demi kepentingan ekonomi, politik, atau eksploitasi wilayah perairan?
Mengapa Ini Jadi Masalah Besar?
Karena wilayah adalah simbol kedaulatan. Setiap jengkal tanah dan pulau di Republik Indonesia memiliki makna historis, politis, dan emosional bagi penduduknya. Dalam konteks Aceh, yang memiliki kekhususan otonomi berdasar UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), maka pelepasan wilayah – sekecil apapun – harus melewati prosedur yang ketat dan partisipatif.
Jika tidak, maka ini bukan hanya persoalan teknis administratif, tapi bisa dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan lokal dan potensi pelanggaran terhadap semangat memorandum of understanding (MoU) Helsinki 2005 antara RI dan GAM.
Bagaimana Reaksi Publik dan Pakar?
Tokoh masyarakat Aceh dan akademisi dari Universitas Syiah Kuala menyayangkan langkah pemerintah pusat yang dinilai tidak transparan dan terburu-buru.
Dr. Muzakir A. Gani, pakar hukum tata negara dari Banda Aceh, mengatakan:
“Jika keputusan ini tidak melibatkan konsultasi publik dan DPR Aceh, maka secara hukum itu dapat digugat. Ini bukan sekadar soal garis di peta, tapi menyangkut martabat rakyat Aceh sebagai entitas otonom khusus yang dijamin dalam konstitusi dan perjanjian damai internasional.”
Di Mana Pulau-Pulau Itu Berada?
Empat pulau yang dimaksud disebut berada di sekitar perairan perbatasan Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah. Namun, publik hingga kini tidak mendapatkan peta resmi atau koordinat jelas tentang batas baru tersebut. Bahkan, situs resmi BIG (Badan Informasi Geospasial) belum memperbarui peta digital hingga artikel ini ditulis.
Apakah Ini Ilegal atau Melanggar Konstitusi?
Jika mengacu pada:
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
maka perubahan batas wilayah seharusnya tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat, melainkan harus ada konsultasi dan persetujuan DPRD serta keterlibatan masyarakat.
Selain itu, jika pulau-pulau tersebut memiliki sumber daya laut atau darat strategis, maka potensi sengketa ekonomi bisa terjadi, baik antara pemda maupun pelaku usaha.
Catatan Intelektual Redaksi:
Peta bukan sekadar kertas. Di balik selembar garis batas, ada sejarah, identitas, dan hak warga negara. Ketika wilayah ‘berpindah’ tanpa transparansi dan akuntabilitas, maka yang tergeser bukan cuma garis di peta, tapi rasa keadilan publik.
Pemerintah pusat harus menjawab dengan terang:
Apa dasar hukum, peta resmi, dan siapa yang menyetujui?
Dan kepada masyarakat Aceh: apakah suara kalian telah didengar sebelum keputusan itu ditetapkan?
Penutup: Kalam dari Al-Qur’an dan Hadis
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri…”
(QS. An-Nisa: 135)“Tidak akan tergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara: tentang ilmunya, untuk apa ia amalkan; tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana dibelanjakan; tentang tubuhnya, untuk apa digunakan; dan tentang waktunya, bagaimana ia habiskan.”
(HR. Tirmidzi)
📍 Editor Investigatif: Setiawan
📍 Foto dan Visual: Tim Visual Intelijen Jurnalistik
📍 Media: www.UngkapKriminal.com
📍 Instagram: @ungkapkriminalmedia | Telegram: @ungkapkriminal
🔗 Baca lebih lanjut dan ikuti investigasi lanjutan di:
https://ungkapkriminal.com/bobroknya-tata-ruang-peta-dan-pengkhianatan-wilayah-aceh/
More Stories
Blokir dan Bungkam: Ketika Kerani Diduga Ikut Membatasi Hak Jawab Publik
Klarifikasi Dihindari, Kontak Diblokir: Ketika Suara Publik Dibungkam oleh Aparatur Desa?
🛑 ACEH GERAM, JOKOWI & BOBBY DIKUTUK? ” Prabowo Ambil Alih & Tetapkan 4 Pulau Kembali ke Aceh: Netizen Beri Pesan Moral Pedas!