September 5, 2025

Ungkapkriminal.com

Diandalkan dan ditargetkan

Gugatan Rp125 Triliun: Pencalonan Gibran dan Ujian Etika Demokrasi Indonesia

Keterangan Foto: Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, saat menghadapi sorotan publik dan media di tengah polemik gugatan hukum senilai Rp125 triliun terkait pencalonannya sebagai cawapres. πŸ“° Fakta, bukan drama. | UngkapKriminal.com

UngkapKriminal.com –

Demokrasi Indonesia kembali diguncang badai polemik. Kali ini bukan sekadar soal politik praktis, melainkan gugatan hukum fantastis senilai Rp125 triliun yang diajukan warga terhadap pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres).

Gugatan ini memantik perdebatan luas, dari ruang pengadilan hingga forum publik, terkait syarat, etika, dan legalitas demokrasi di negeri dengan penduduk lebih dari 270 juta jiwa ini.

Seorang warga menggugat Gibran Rakabuming Raka ke pengadilan dengan nilai fantastis Rp125 triliun. Gugatan ini berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum dalam proses pencalonannya sebagai cawapres yang dinilai melibatkan manipulasi aturan usia lewat putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK).

Gibran Rakabuming Raka – Calon Wakil Presiden RI 2024.

Penggugat (warga) – yang menilai pencalonan Gibran cacat hukum dan merugikan demokrasi.

Mahkamah Konstitusi (MK) – lembaga yang sempat memutuskan batas usia cawapres hingga menimbulkan kontroversi nasional.

Partai Politik pengusung – sebagai entitas yang mendorong pencalonan.

Gugatan dilayangkan setelah keputusan MK yang membuka jalan bagi Gibran maju sebagai cawapres pada Pemilu 2024. Proses hukum kini sedang berjalan dan mendapat sorotan luas.

Kasus ini diproses di pengadilan Indonesia, namun gaungnya meluas ke tingkat global karena menyangkut kualitas demokrasi di negara berpenduduk Muslim terbesar dunia.

Penggugat menilai pencalonan Gibran melanggar asas konstitusional dan prinsip demokrasi, karena dinilai dipaksakan melalui celah hukum. Nilai gugatan Rp125 triliun digambarkan sebagai simbol kerugian immateriil bangsa.

Gugatan diajukan secara perdata, dengan argumentasi bahwa pencalonan tersebut merusak tatanan hukum dan demokrasi. Pengadilan diminta memutuskan apakah pencalonan ini sah atau cacat hukum, serta mempertimbangkan kerugian simbolis yang diajukan.

Landasan Hukum Nasional

1. UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) – Kesamaan kedudukan warga negara di depan hukum.

2. Pasal 28D ayat (1) – Hak atas kepastian hukum yang adil.

3. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu – syarat usia minimal calon presiden/wakil presiden.

4. Pasal 1365 KUHPerdata – perbuatan melawan hukum yang merugikan pihak lain.

Perspektif HAM Internasional

Article 21, Universal Declaration of Human Rights (UDHR): setiap orang berhak berpartisipasi dalam pemerintahan negaranya, namun harus dengan prinsip fairness.

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Article 25: hak warga untuk ikut serta dalam urusan publik, memilih, dan dipilih berdasarkan asas nondiskriminasi dan kesempatan yang setara.

Suara Pakar dan Narasumber

Prof. Dr. Mahfud MD (ahli hukum tata negara): β€œPutusan hukum yang memberi jalan pencalonan seseorang tidak boleh dipandang sekadar teknis, tetapi juga harus ditimbang dengan etika konstitusi.”

Dr. Andreas Harsono (Human Rights Watch, internasional): β€œDemokrasi tanpa keadilan prosedural hanya melahirkan krisis legitimasi.”

Aktivis masyarakat sipil: menyebut gugatan Rp125 triliun bukan soal uang, melainkan simbol jeritan rakyat terhadap runtuhnya moralitas hukum.

Studi Banding Internasional

Korea Selatan: pernah membatalkan pencalonan pejabat karena pelanggaran konstitusi, demi menjaga kredibilitas demokrasi.

Filipina: Mahkamah Agung sering menegakkan checks and balances untuk mencegah abuse of power oleh elit politik.

Catatan Intelektual Presisi Redaksi

Gugatan Rp125 triliun ini mencerminkan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga negara dan praktik politik yang dianggap elitis. Meskipun asas praduga tak bersalah tetap berlaku, kasus ini adalah momentum refleksi: apakah demokrasi Indonesia masih berdiri di atas hukum dan etika, atau sekadar alat legitimasi kekuasaan?

Penutup Profetik

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

> β€œDan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”

(QS. Al-Maidah: 8)

Rasulullah SAW bersabda:

> β€œPemimpin yang paling dicintai Allah adalah yang mencintai rakyatnya, dan rakyat pun mencintainya. Sedang pemimpin yang paling dibenci Allah adalah yang membenci rakyatnya, dan rakyat pun membencinya.”

(HR. Tirmidzi)

Keadilan bukan sekadar teks hukum, melainkan amanah ilahi. Demokrasi tanpa keadilan hanyalah tirani yang dibungkus prosedur.

πŸ“ UngkapKriminal.com | Jihad Kalam untuk Kebenaran dan Keadilan