Oleh: Redaksi Intelektual Profetik – UngkapKriminal.com
Ketika Hutan Menjadi Korban, Bukan Tersangka
Hutan tidak pernah datang ke kantor pemerintahan untuk meminta proyek.
Hutan tidak pernah melobi sebuah kebijakan.
Hutan tidak pernah menjadi tersangka korupsi, apalagi tersangkut mafia anggaran.
Namun entah dari siapa datangnya ide bahwa hutan adalah “hambatan pembangunan”?
Padahal sejak ribuan tahun sebelum istilah hilirisasi dipromosikan dalam pidato-pidato resmi, hutan sudah bekerja tanpa lelah:
mengatur air, menenangkan bumi, menjaga angin, memberi rumah bagi gajah, orangutan, harimau, dan seluruh orkestra kehidupan yang kerap kita sebut alam liar.
Liar?
Tidak.
Yang liar bukan hutan.
Yang liar adalah nafsu manusia yang merasa planet ini kontrakannya pribadi.
Gajah dan Orangutan Tak Pernah Minta Jalan Tol, yang Mereka Minta Hanyalah Rumahnya
Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—lini depan Rencana Alam Sumatra 2025—gajah dan orangutan tidak mengerti istilah investasi.
Mereka tidak mengerti apa itu AMDAL yang diakali, atau peta konsesi yang “digeser sejengkal demi sejengkal”.
Yang mereka mengerti hanya satu:
Rumah.
Ketika hutan terbakar, mereka berlari bukan karena marah, tetapi karena takut.
Ketika hutan digunduli, mereka mendekati permukiman bukan karena mengganggu, tetapi karena kelaparan.
Ketika manusia mengadukan mereka ke aparat, mereka hanya menatap dengan mata polos—sementara manusia sibuk mempersoalkan “kerugian ekonomi” akibat seekor satwa yang tersesat.
Ironi paling pahit dalam sejarah ekologis Nusantara:
Yang menghancurkan habitat menjadi korban,
yang kehilangan habitat dituduh meresahkan.
Kenapa Manusia Menjadi Rakus dan Merusak?
“Sastra Profetik dari Hasrat Paling Gelap Homo Sapiens”
Pertanyaan itu terdengar sederhana, tetapi jawabannya adalah satire Sastra paling getir dalam sejarah peradaban:
Karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang merusak rumahnya sendiri sambil merasa dirinya paling pintar.
Di Aceh, Sumut, dan Sumbar, rencana pembangunan berkuda-kuda datang dengan jargon “demi pertumbuhan ekonomi”.
Tapi bukankah ekonomi tanpa ekologi hanyalah bunuh diri terstruktur?
Gajah tidak merusak hutan.
Orang Hutan tidak menebang kayu.
Harimau tidak membakar gambut.
Yang melakukan itu adalah manusia—kemudian menyalahkan alam ketika banjir, longsor, dan kemarau ekstrem datang.
Dalam dokumen intelijen ekologis internasional yang kerap tidak dibicarakan publik, Sumatra diprediksi akan memasuki era “Titik Balik Kerusakan Permanen 2025–2030” jika pembukaan hutan terus dibiarkan.
Namun sebagian pejabat berkata:
“Kita tetap optimis.”
Optimis pada apa?
Optimis bahwa bumi akan tetap sabar?
Rencana Alam Sumatra 2025:
Siapa yang Berpikir, Siapa yang Menanggung Akibatnya?
Rencana besar yang melibatkan Aceh, Sumut, dan Sumbar ini sejatinya adalah persimpangan jalan:
- Menjaga bentang alam tersisa
- Atau menggerusnya demi angka pertumbuhan jangka pendek
Sayangnya, dalam banyak proposal yang beraroma “pembangunan”, lingkungan selalu diletakkan pada halaman paling belakang—kalau tidak dihapus sama sekali.
Namun dalam perspektif investigatif internasional, ada dua data penting:
- Sumatra kini kehilangan rata-rata 220.000 hektar hutan per tahun.
- Konflik manusia–satwa meningkat 400% dalam 10 tahun terakhir.
Dengan kata lain, kita sedang berlari menuju jurang sambil menutup mata.
Suara Para Penjaga Nurani
Redaksi mewawancarai beberapa pakar internasional:
Dr. Noam Fletcher – Ecological Security Institute (London):
“Jika Sumatra gagal memulihkan hutannya pada 2025–2030, dunia kehilangan salah satu carbon shield terbesar Asia. Dampaknya global, bukan lokal.”
Prof. Maria Estevez – International Biodiversity Council (Madrid):
“Konflik gajah dan orangutan bukan konflik satwa. Itu konflik manusia melawan keserakahan manusia sendiri.”
Ir. Yusran Abadi – Ahli Hutan Tropis Indonesia:
“Hutan itu pilar utama identitas Nusantara. Jika hancur, yang hilang bukan hanya pohon—tetapi martabat bangsa.”
Landasan Hukum Nasional & HAM Internasional
Hukum Nasional
UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan
Instrumen Internasional
Paris Agreement 2015
Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD)
UNDRIP – hak masyarakat adat terhadap hutan
Jika kerusakan hutan dibiarkan, negara berpotensi melanggar kewajiban konstitusional dan komitmen internasional.
CATATAN INTELEKTUAL PRESISI REDAKSI
Hutan bukan penghalang pembangunan.
Hutan adalah prasyarat pembangunan.
Nusantara bisa membangun tanpa menghancurkan,
tetapi tidak bisa membangun tanpa berpikir.
Gajah dan orangutan tidak meminta izin untuk lahir.
Mereka hanya ingin hidup.
Maukah manusia berhenti merusak sebelum bumi memutuskan berhenti memberi?
PENUTUP PROFEKTIK: Cahaya dari Firman
Al-Qur’an – Surah Ar-Rum ayat 41
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia…”
Makna:
Kerusakan lingkungan bukan takdir, tetapi ulah manusia sendiri. Maka manusialah yang wajib memperbaikinya.
Hadis Nabi SAW
“Sesungguhnya dunia ini hijau dan indah. Allah menjadikan kalian pemimpin di dalamnya, dan Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat.”
(HR. Muslim)
Makna:
Kepemimpinan manusia adalah amanah ekologis—bukan izin untuk merusak.
Penutup:
Hutan Tak Pernah Menuntut Manusia.
Tapi suatu hari, manusia mungkin dituntut oleh sejarah, oleh anak cucunya, oleh bumi itu sendiri.



More Stories
“Ketika Solar Subsidi Jadi Ladang Bisnis Gelap, Rakyat Hanya Kebagian Sisa” Terkadang Sukar 🙏
Bendahara Desa Boncah Mahang Dituduh Sengaja Bungkam: Wajah Ketidakpedulian dan Kebohongan Terstruktur
Agrinas dan Masyarakat Adat Suku Bonai Sepakat Menjaga Tanah Ulayat: Fakta Baru dari Lapangan