
Oleh: [J.N nasution]
Opini Redaksi | Mahaganews.com / Ungkapkriminal.com
“Di balik geliat pembangunan dan sorotan pencapaian ekonomi makro, ada suara lirih yang nyaris padam: suara nurani bangsa. Kita bukan sedang krisis fiskal semata, bukan pula hanya soal hukum yang kabur atau kekuasaan yang membatu. Tapi lebih dalam dari itu—Indonesia sedang kehilangan jiwanya: nurani yang dirampas oleh rakusnya kekuasaan.
” Dimensi Kegelisahan Sosial
Pertanyaan filosofis kini mengemuka:
“Di manakah Ketuhanan Yang Maha Esa dalam praksis kekuasaan kita, jika sumpah jabatan hanya menjadi ritual tanpa makna?
Apa artinya negara hukum, jika pasal-pasal digunakan sebagai alat dagang kekuasaan?
Bukan satu atau dua kasus, tetapi pola yang menguat: hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas, politik yang dikuasai oligarki, dan ruang publik yang penuh manipulasi.
” Kutipan Nurani Bangsa
Seorang musisi legendaris pernah berkata:
***“Urus saja moral dan akhlakmu, tegakkan hukum setegak-tegaknya, peraturan sehat yang kami mau.”
(Iwan Fals, dalam lirik yang menjadi peringatan moral bangsa.)
Ini bukan sekadar bait lagu, tapi jeritan masyarakat yang melihat institusi kekuasaan abai pada etika.
“Perspektif Ilahiah dan Nubuwwah
Dalam Islam, amanah adalah hal sakral.
Al-Qur’an, Surah Al-Anfal (8): 27 mengingatkan:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.”
Dalam konteks negara, kekuasaan bukan milik individu atau partai, melainkan titipan rakyat dan amanat Ilahi. Mengkhianatinya adalah bentuk tertinggi dari kehancuran moral kolektif.
Hadis Riwayat Muslim No. 144 menegaskan:
“Akan datang tahun-tahun penuh tipu daya. Pendusta dipercaya, orang jujur didustakan, pengkhianat diberi amanah, dan orang amanah dianggap pengkhianat. Ruwaibidhah pun bicara.”
Ruwaibidhah: Orang bodoh yang bicara soal publik.
Apakah Indonesia sedang dikuasai oleh Ruwaibidhah yang mengaku pemimpin?
“Pilar Konstitusional dan Realita
Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945: “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Namun hukum kini sering menjadi alat legitimasi kekuasaan semu.
Pancasila, Sila Pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Namun kerap kali, nama Tuhan digunakan untuk membungkam suara rakyat dan melanggengkan kekuasaan.
“Refleksi Global dan Kewaspadaan Intelijen
Artikel ini bukan provokasi. Ini adalah cermin nurani. Ia tidak menuduh, tidak menghasut, tidak menyebar kebencian. Ia bersandar pada nilai universal: keadilan, etika, dan suara rakyat yang ingin hidup bermartabat.
Dalam kaidah jurnalistik dan intelijen internasional:
Artikel ini tidak menyebut nama individu secara personal.
Tidak menyerang institusi tanpa data.
Tidak menyebar hoaks, fitnah, atau ujaran kebencian.
Berdasarkan sumber sah: Konstitusi, kitab suci, dan warisan kebijaksanaan budaya.
Pesan Redaksi untuk Rakyat
Sobat nurani, engkau tidak sendiri. Suaramu adalah gema dari banyak yang terbungkam.
Teruslah menyalakan cahaya akal sehat dalam gelap yang bukan ekonomi atau hukum, tapi gelapnya nurani bangsa.
Akhir Kata: Hadapilah zaman dengan cahaya akal dan iman
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya…” (QS. Al-Baqarah: 286)
Bersabarlah. Bukan untuk menyerah. Tapi untuk tetap waras dan menjadi saksi bahwa bangsa ini masih punya harapan—selama nurani masih menulis.
Penanggung Jawab Redaksi:
Nama Editor / Penulis | Verified Contributor | Narasi Independen
Artikel ini telah melalui penyuntingan etis, verifikasi standar jurnalistik, dan tidak mengandung unsur pelanggaran hukum.
More Stories