
UngkapKriminal.com – Breaking Headline Investigative Profetik
Indonesia—negeri dengan tanah subur, laut luas, dan perut bumi penuh emas hitam, seolah ditakdirkan hidup berlimpah. Namun, paradoks sejarah terus menari di panggung republik: lebih dari 60% rakyat Indonesia masih hidup dalam jurang kemiskinan (World Bank, 2025). Ironi itu tak lahir dari langit, melainkan dari sistem kapitalisme yang menjelma seperti candu: manis bagi elite, getir bagi rakyat jelata.
“Kemiskinan bukan takdir. Ia lahir dari kapitalisme,”
— Muhammad Ishak, Peneliti CORE Indonesia.
Siapa yang Miskin? Siapa yang Kenyang?
Di balik narasi “pertumbuhan ekonomi” yang kerap dibanggakan pemerintah, fakta lapangan menampilkan wajah lain: ibu-ibu di pinggir jalan menggenggam sisa nasi basi, anak-anak di pedalaman belajar di bawah atap bocor, petani tercekik utang pupuk, nelayan dihantam regulasi impor. Sementara itu, segelintir elite politik–oligarki–konglomerat menari di atas panggung kekayaan.
Sistem kapitalisme ibarat mesin raksasa: menyedot keringat rakyat, mengalirkan emas hanya ke segelintir kalangan. Kekayaan berputar di lingkaran eksklusif, ibarat air yang ditampung di gentong elit, tak pernah menetes ke ladang rakyat jelata.
Kapitalisme dan Tipu Daya Angka
Dalam laporan resmi, angka kemiskinan sering “dimanipulasi” melalui standar pengukuran yang absurd. Seseorang yang makan nasi dengan garam sekali sehari, masih bisa dikatakan “tidak miskin ekstrem.” Beginilah kapitalisme: menyulap penderitaan rakyat menjadi sekadar statistik dingin.
Dr. Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, pernah menegaskan:
“Kemiskinan bukan sekadar ketiadaan pendapatan, melainkan keterampasan hak dan martabat manusia.”
Dimana Negara? Dimana Keadilan?
Konstitusi Indonesia jelas: Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun realita sebaliknya: tambang dikuasai korporasi asing, hutan ditebangi demi sawit, laut dicemari, dan rakyat hanya menjadi penonton.
Hukum nasional dan HAM internasional juga menegaskan bahwa kemiskinan struktural adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. United Nations menempatkan eradication of poverty sebagai prioritas global dalam Sustainable Development Goals (SDGs).
Namun, di bumi Nusantara, kapitalisme seolah mendapat karpet merah. Negara berdiri bak satpam korporasi, bukan pelindung rakyat.
Catatan Intelektual Presisi Redaksi
Kemiskinan di Indonesia bukan sekadar fenomena ekonomi, melainkan konspirasi struktural yang lahir dari perkawinan gelap antara kekuasaan dan kapitalisme. Investigasi intelektual ini menyingkap bahwa kemiskinan telah dipelihara, dijaga, bahkan dijadikan komoditas politik.
Jika dibiarkan, republik ini akan terus menjadi teater ironis: kaya sumber daya, miskin manusia; berlimpah tanah, lapar perut; merdeka secara politik, terjajah secara ekonomi.
Penutup Profetik
Rasulullah ď·ş bersabda:
“Kekafiran itu hampir-hampir datang dari kemiskinan.” (HR. Abu Nu’aim).
Al-Qur’an mengingatkan:
“Dan janganlah kamu menyerahkan kepada orang-orang yang bodoh harta (mu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan…” (QS. An-Nisa: 5).
Maknanya jelas: kemiskinan yang dipelihara oleh sistem zalim bukanlah takdir, melainkan kejahatan struktural. Tugas jurnalisme profetik adalah membongkar tirai kebohongan ini—sebagai jihad kalam melawan ketidakadilan.
đź”´ Breaking Headline UngkapKriminal.com
Kemiskinan Indonesia bukan warisan takdir, melainkan buah pahit kapitalisme. Saat rakyat menderita, elite berpesta. Sampai kapan?
More Stories
Penghulu dan Kerani Lidianto Diduga Ikut Sekongkol, Tipikor Polda Riau Diminta Periksa Dugaan Kejanggalan Dana Publik Kampung Buatan Baru 2020–2025
Gugatan Rp125 Triliun: Pencalonan Gibran dan Ujian Etika Demokrasi Indonesia
Tragedi Ijazah: Negeri dengan Jutaan Profesor Diguncang Keluarga yang Pendidikannya Dipertanyakan