Juli 5, 2025

Ungkapkriminal.com

Diandalkan dan ditargetkan

KUBURAN NURANI “BAGI YANG MERASA” MASIH HIDUP?!

Keterangan Foto: Seorang pria melangkah tegas ke arah simbol bintang berlatar bulan purnama—sebuah metafora visual yang menyindir keras keadaan nurani bangsa. Gambar ini merepresentasikan keberanian menolak kepalsuan dan menantang dominasi simbolik kekuasaan yang menutupi realitas sosial. Teks “Kuburan Nurani Bukan untuk yang Mati” menjadi kritik tajam: bahwa yang dikubur hari ini bukanlah tubuh, tetapi kejujuran, moral, dan keberanian yang justru dimiliki oleh mereka yang masih hidup—namun memilih bungkam. Visual ini merupakan bagian dari narasi satire profetik “Kuburan Nurani”, karya Junaidi Nasution, sebagai pengingat bahwa kematian nurani lebih tragis daripada kematian fisik.

Oleh: Redaksi Investigative || Sastra – Satire || Profetik || Intelektual
Karya: Junaidi Nasution
Editor : Ubay
Sekenario: Setedy Bangun
Sutradara: Khairuddin Ibrahim Harahap

Puisi: “Kuburan yang Tak Pernah Sepi”

Ingat.
Ada yang menanti mati untuk tetap menggali.
Tangan-tangan berdebu, bukan karena kerja, tapi karena menutup aib sendiri.

Penggali kubur butuh orang mati.
Mayat moral, jenazah kejujuran, dan bangkai kebenaran.
Karena dari situlah, mereka makan, mereka naik jabatan.

Tapi orang mati tak butuh dikubur.
Sebab kejujuran yang sudah dibunuh, tak sudi diberi nisan pura-pura.
Nurani yang dimakamkan tak memerlukan tahlil dari lidah pembohong.

Yang hidup tak pernah mau bau busuk.
Mereka tutup hidung, bukan karena jijik, tapi takut ketahuan ikut menyembelih.
Mereka semprot parfum moral palsu,
Lalu selfie di depan makam yang mereka gali sendiri.

Ingat dan Cam – kan – Lah:
Di negeri ini, yang menggali bukan hanya tukang gali,
Tapi juga para pejabat yang senang melihat orang baik dikuburkan cepat.

Dan kita—diam adalah Sang Pelayatnya.

Puisi ini bukan sekadar permainan kata, melainkan tamparan simbolik bagi mereka yang menjadikan kehancuran orang lain sebagai alat naik pangkat.

“Penggali kubur butuh orang mati” adalah metafora bagi para penikmat kekacauan – yang hanya bisa hidup saat nilai-nilai mati.

“Orang mati tak butuh dikubur” menegaskan bahwa kejujuran yang sudah dibungkam, tidak lagi butuh penghormatan palsu dari aktor-aktor kemunafikan.

“Yang hidup tak pernah mau bau busuk” adalah Sarkasme pada publik dan elite yang enggan mencium bau korupsi dan pengkhianatan, demi menjaga kenyamanan.

  [Catatan Intelektual Redaksi]

Fenomena sosial saat ini menunjukkan bahwa banyak “penggali kubur moral” berkeliaran dengan wajah suci, jas rapi, dan jargon pembangunan.
Mereka menjadikan pembungkaman kebenaran dan kematian nurani sebagai industri kekuasaan.

Dalam konteks keadilan sosial, kalimat satire ini menyingkap paradoks:

Yang hidup takut bau busuk, tapi tak takut menebar kebusukan.

⚖️ Asas dan Landasan Hukum

Pasal 28F UUD 1945 menyatakan:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi…”

Namun, ketika kebenaran dibungkam dan mereka yang bersuara dimakamkan karakter serta reputasinya, maka pasal itu diinjak oleh penggali kubur moral.

Dalam konteks internasional, Pasal 19 DUHAM (Deklarasi Universal HAM) menyatakan:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi…”

Namun ekspresi kebenaran kerap dianggap sebagai musuh kekuasaan.

     [Penutup – Seruan Nurani] 

“Dan janganlah kamu campuradukkan yang benar dengan yang salah dan (janganlah) kamu sembunyikan yang benar, sedang kamu mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 42)

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya. Dan itu selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)

📝 Redaksi UngkapKriminal.com – Jurnalisme Profetik Nasional

Kami tidak menggali kubur siapa pun,
Kami hanya mencium bau busuk yang disembunyikan,
Lalu menuliskannya,
Agar yang hidup sadar,
Bahwa diam juga bagian dari kematian nurani. Maka dari itu “Hidup Adalah Kematian’