
Solo, Jawa Tengah – 7 Mei 2025
Badai hukum tengah menyapu Indonesia. Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diduga menggunakan ijazah palsu untuk menapaki karier politiknya sejak awal. Dalam sidang mediasi yang digelar di Pengadilan Negeri Solo, Jokowi kembali tidak hadir, menolak menunjukkan ijazah asli SMA Negeri 6 Surakarta dan Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagaimana diminta oleh penggugat Muhammad Taufiq, seorang advokat publik.
Pihak Terlibat:
Tergugat: Ir. H. Joko Widodo, Presiden ke-7 Republik Indonesia
Penggugat: Muhammad Taufiq, advokat dan warga negara
Mediator: Prof. Adi Sulistiyono, Guru Besar Hukum & Ketua Majelis Mediasi
Kuasa Hukum Jokowi: YB Irpan
GAGAL MEDIASI, PINTU PENGADILAN TERBUKA
Mediasi kedua berlangsung tertutup pada 7 Mei 2025. Jokowi tetap tidak hadir dan hanya mengirim tim hukum tanpa membawa bukti fisik berupa ijazah asli. Ini memicu pertanyaan mendasar tentang transparansi, moralitas kepemimpinan, dan integritas demokrasi Indonesia.
Mengapa Kasus Ini Gawat?
- Membatalkan Hasil Pemilu Masa Lalu
Jika terbukti, Jokowi tidak memenuhi syarat pencalonan presiden. Maka berdasarkan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pasal 182 huruf k, yang mensyaratkan calon harus berpendidikan minimal SMA atau sederajat, seluruh hasil pemilu bisa dipersoalkan secara hukum. - Merusak Legitimasi Demokrasi
Pemimpin yang naik lewat dokumen palsu berarti pemilihan umum telah disusupi penipuan publik berskala nasional. Ini melanggar asas pemilu yang jujur dan adil (jurdil) dalam Pasal 22E UUD 1945. - Menjatuhkan Kredibilitas Indonesia di Mata Dunia
Pelanggaran ini bisa dikategorikan sebagai fraud against the people, melanggar norma internasional Rule of Law & Democratic Integrity seperti yang dijunjung oleh PBB dan lembaga internasional seperti Transparency International dan Democracy Watch International.
Pasal dan Sanksi Terkait
KUHP Pasal 263: Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan hak, dihukum penjara paling lama 6 tahun.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 68: Pemalsuan ijazah diancam pidana 5 tahun penjara dan/atau denda Rp500 juta.
Hukum Internasional (Konvensi Anti-Korupsi PBB, 2003): Pemalsuan dokumen publik oleh pejabat negara diklasifikasikan sebagai serious breach atas kepercayaan rakyat dan bisa menjadi alasan sanksi diplomatik.
Pernyataan Tokoh
Muhammad Taufiq, Penggugat:
“Ketidakhadiran tergugat bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga penyangkalan terhadap kebenaran. Kalau ijazah itu asli, mengapa takut ke pengadilan?”
YB Irpan, Kuasa Hukum Jokowi:
“Kami menolak kedudukan hukum penggugat. Ini bermuatan politis. Kami tidak akan menyerahkan dokumen apapun kecuali dipaksa oleh proses hukum yang sah.”
Dr. Siti Halimah, Pakar Hukum Tata Negara (UI):
“Pemalsuan ijazah oleh pejabat publik bisa dianggap kejahatan konstitusional. Itu bukan perkara pribadi, tapi pengkhianatan terhadap seluruh sistem demokrasi.”
Dampak Internasional Mulai Terasa
Democracy Watch International (DWI) dan Transparency Frontier mulai memantau kasus ini.
Petisi global berjudul “Demand Truth from Asian Leaders” telah ditandatangani lebih dari 150.000 orang dari 43 negara.
Kredibilitas pendidikan Indonesia ikut tercoreng di mata dunia.
Tahap Selanjutnya
Kasus ini akan masuk ke sidang terbuka pada 22 Mei 2025, di mana Jokowi dapat dipanggil di bawah sumpah dan diwajibkan menunjukkan ijazah asli di hadapan majelis hakim dan publik.
Catatan Redaksi UngkapKriminal.com
Berita ini adalah bagian dari serial investigatif “Keadilan dalam Bayang-Bayang”, hasil kolaborasi antara UngkapKriminal International Desk dan jaringan global The Independent Veracity Network.
More Stories
“Former Indonesian President Accused of Using Fake Diplomas, Skips Mediation at Solo District Court?”
MANIFESTO SPIRITUAL UNGKAPKRIMINAL.COM “THE TEMPLE OF THE KING DEMOKRASI”
TEMPLE OF THE KING DEMOKRASI: DEKLARASI KEBENARAN DALAM POLEMIK IJAZAH JOKOWI