Agustus 20, 2025

Ungkapkriminal.com

Diandalkan dan ditargetkan

NEGARA PEMALAK: Pajak untuk Rakyat, Surga untuk Investor

Keterangan Foto: Ilustrasi satire profetik karya redaksi UngkapKriminal.com menyoroti ketimpangan kebijakan fiskal di Indonesia: Rakyat dipaksa bayar pajak, investor diberi tax holiday. Tampak dalam gambar, seorang pejabat digambarkan “menarik telinga rakyat” sambil memberikan karung uang bertuliskan “Tax Holiday” kepada investor asing, melambangkan ketidakadilan struktural dalam sistem perpajakan nasional. Gambar ini dilengkapi dengan QR Code yang mengarahkan pembaca ke artikel investigatif “NEGARA PEMALAK” sebagai bagian dari jihad kalam UngkapKriminal.com dalam membongkar kebijakan ekonomi yang abai terhadap keadilan sosial. Visual ini digunakan untuk kepentingan edukasi publik, advokasi keadilan fiskal, dan sebagai bentuk sastra intelektual dalam semangat kebebasan pers dan HAM.

“Oleh Tim Investigasi Jurnalisme Profetik UngkapKriminal.com –
Jihad Kalam untuk Keadilan dan Kemanusiaan”

“Ketika rakyat dipaksa puasa pajak demi memberi investor pesta tax holiday.”
Itulah potret muram kebijakan ekonomi yang kini menjelma jadi satir paling getir dalam sejarah republik. Pemerintah—atas nama pertumbuhan dan pembangunan—memeluk investor asing bak dewa penyelamat, sementara rakyatnya ditarik telinganya untuk membayar tagihan demi tagihan. Bukan hanya listrik dan BBM, tapi juga harga harga yang disulap dari meja kebijakan yang tak lagi kenal kata “kemanusiaan”.

Adalah rakyat kecil—petani, nelayan, buruh pabrik, dan pedagang kaki lima—yang setiap hari disapa oleh sabda sakti: “Bayar pajak itu cinta negeri.” Tapi cinta macam apa yang menindas satu pihak demi memanjakan yang lain?

Dan di balik layar kebijakan fiskal, berbarislah para pemilik modal, investor besar, dan konglomerat asing yang disuguhi karpet merah bernama Tax Holiday. Bukan sehari dua hari, tapi bertahun-tahun. Tanpa sepeser pun pajak, tanpa kontribusi berarti bagi kehidupan sosial warga lokal.

Tax Holiday atau pembebasan pajak, yang semestinya jadi instrumen strategis untuk mendongkrak sektor produktif lokal, kini justru dijadikan tiket gratis bagi perusahaan multinasional untuk mengeruk keuntungan dari tanah air ini—tanpa harus berkeringat dan membangun.

Sementara di sisi lain, pajak rakyat dinaikkan dengan berbagai nama dan dalih: pajak transaksi digital, pajak motor, pajak parkir, pajak bumi dan bangunan bahkan iuran wajib yang dibungkus kata “sumbangan sukarela”.

Kebijakan ini bergulir dalam sunyi. Sejak awal era reformasi fiskal hingga tahun-tahun terakhir pemerintahan yang katanya pro-rakyat. Ironisnya, semua berlangsung ketika daya beli menurun, harga pangan naik, dan utang luar negeri menumpuk bak mercusuar kebangkrutan.

Dari Jakarta ke pelosok Papua, dari desa ke kota, setiap jengkal tanah ini menyimpan kisah rakyat yang dipalak. Di Sumatera, petani sawit digencet PPN. Di Jawa, warung kopi kena pajak digital. Di Kalimantan, rakyat adat terusir demi tambang bebas pajak. Sementara di Riau, negeri kaya sumber daya, justru rakyatnya termiskinkan demi ekspor perusahaan global.

Pemerintah beralasan: “Agar iklim investasi membaik.” Tapi siapa yang menikmati hasilnya? Apakah anak-anak desa dapat sekolah gratis? Apakah ibu-ibu miskin bebas berobat? Ataukah gedung-gedung tinggi dan kawasan industri eksklusif itu justru semakin jauh dari urat nadi kehidupan rakyat?

Sistem perpajakan yang timpang dipelihara dengan regulasi—undang-undang yang dirancang rapi oleh elit, jauh dari ruang dengar rakyat. Transparansi? Nol besar. Partisipasi publik? Sebatas formalitas. Penerimaan negara? Tumbuh, tapi distribusinya tetap menyuburkan jurang antara “kita” dan “mereka”.

        📣 Testimoni Pakar

Prof. Joseph E. Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, menyebut dalam Globalization and Its Discontents bahwa:

“Ketimpangan fiskal dan tax holiday untuk korporasi adalah bentuk kolonialisme baru: kekuasaan ekonomi tanpa tanggung jawab sosial.”

Dr. Rhenald Kasali, Guru Besar UI, menambahkan:

“Kita bukan melayani pasar bebas, tapi membebaskan pasar dari tanggung jawabnya kepada masyarakat.”

       Landasan Hukum

UUD 1945 Pasal 23A: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”

Pasal 28H ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin…”

Pasal 25 DUHAM (Deklarasi Universal HAM): Hak atas standar hidup yang layak.

SDGs Goal 10: Mengurangi Ketimpangan

 Catatan Intelektual Presisi Redaksi

Satire ini bukan sekadar sindiran, tapi cermin intelektual untuk menggugah kebijakan yang telah lama kehilangan nurani. UngkapKriminal.com tidak anti-pembangunan, tidak anti-investor, namun anti pada ketimpangan, pembodohan sistematis, dan penghianatan terhadap rakyat.
Kami berdiri di sisi kebenaran, bukan di panggung pencitraan.

       Penutup: Kalam Profetik

“Celakalah orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang!”
(QS. Al-Muthaffifin: 1)
Makna: Wahai para pembuat kebijakan, janganlah engkau memberi kemurahan kepada penguasa lalu memeras rakyatmu sendiri.

Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang memudahkan urusan orang lain di dunia, maka Allah akan mudahkan urusannya di akhirat.”
(HR. Muslim)

  Baca selengkapnya & investigasi lanjutan: Scan QR atau kunjungi UngkapKriminal.com

📺 Tonton liputan eksklusif di UngkapKriminalTV
🎯 #NegaraPemalak #SatireProfetik #PajakUntukRakyat #TaxHolidaySkandal #JihadKalam