
UNGKAPKRIMINAL.COM – Bengkalis, Riau | Di tengah semangat reformasi keterbukaan informasi publik dan demokrasi partisipatif, fenomena sikap anti-kritik dan alergi terhadap klarifikasi dari sejumlah pejabat di Kabupaten Bengkalis justru memunculkan tanda tanya besar. Terutama saat jurnalis atau media mencoba menggali informasi atas kebijakan yang diduga menyimpang, merugikan masyarakat, atau tidak transparan.
Fenomena ini bukan hanya mencederai prinsip “checks and balances”, tapi juga berpotensi menutup pintu partisipasi publik serta merusak kepercayaan terhadap lembaga pemerintahan daerah.
Dalam beberapa minggu terakhir, sejumlah awak media yang menjalankan tugas jurnalistik investigatif di Bengkalis mengaku kesulitan mendapatkan akses klarifikasi dari pejabat publik, termasuk dari pihak desa hingga perangkat dinas di lingkungan Pemkab Bengkalis. Upaya konfirmasi resmi, bahkan yang disertai surat dengan tenggat waktu profesional 2×24 jam, kerap diabaikan tanpa alasan yang rasional.
“Kita bukan sedang menuduh, tapi bertanya dan memverifikasi. Itu tugas kami. Tapi mereka malah alergi, diam seribu bahasa,” ujar seorang jurnalis lokal kepada redaksi, yang identitasnya kami rahasiakan demi keamanan kerja.
Konfirmasi dan klarifikasi adalah prinsip utama dalam kerja jurnalistik yang menjunjung asas praduga tak bersalah. Sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 3 ayat (1), pers memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Selain itu, Pasal 8 UU Pers juga menyebutkan bahwa “dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.” Artinya, tindakan mengabaikan konfirmasi bukan hanya sikap antidemokrasi, tapi juga mencederai proses hukum yang adil dan transparan.
Apa Dampaknya Bagi Masyarakat?
Jika wartawan dihambat untuk melakukan tugasnya, maka informasi yang sampai ke publik pun akan menjadi sepihak, manipulatif, bahkan berpotensi melanggengkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Masyarakat menjadi korban kebijakan tanpa bisa memahami duduk perkaranya.
“Transparansi bukan pilihan. Ia adalah kewajiban dalam negara demokratis,” tegas Dr. Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara UGM.
Bagaimana Idealnya?
Pemerintah daerah, termasuk pejabat di tingkat desa, seharusnya merespons wartawan sebagai mitra strategis untuk membangun komunikasi publik yang sehat. Dalam konteks ini, wartawan bukan musuh, melainkan pengawas independen yang membantu menjaga moralitas dan akuntabilitas kekuasaan.
Sikap terbuka terhadap klarifikasi juga menunjukkan kedewasaan bernegara dan kesiapan untuk dikoreksi demi kebaikan bersama.
Catatan Intelektual Redaksi UngkapKriminal.com
Kami mengingatkan bahwa setiap surat konfirmasi yang dikirimkan kepada pejabat publik bukan sekadar formalitas, melainkan mekanisme etik dan hukum dalam proses verifikasi informasi. Mengabaikannya adalah bentuk pengkhianatan terhadap tanggung jawab jabatan dan amanah rakyat.
Jika diamnya pejabat dibiarkan, maka rakyatlah yang kehilangan haknya atas informasi, transparansi, dan keadilan. Maka, jangan alergi dikritik bila tak pernah mau diklarifikasi.
Penutup – Kalam Ilahi Sebagai Cermin Nurani
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
(QS. Al-Ma’idah: 8)“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya – dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)
More Stories
PJ Kades Hutan Panjang Tanggapi Klarifikasi: Semua Dana Desa Telah Sesuai Mekanisme dan Diperiksa Pendamping
Desa Makeruh Klarifikasi Dugaan Ketimpangan Dana Desa dan CSR 2023–2025: Redaksi Siap Publikasikan Hasil Investigasi
Diam Total Kepala Desa Kuala Mulia: Dugaan Ketertutupan Dana Desa 2021–2025 Kian Menguat