Juli 26, 2025

Ungkapkriminal.com

Diandalkan dan ditargetkan

“Sastra Kebenaran Bangkit: Warisan Sisingamangaraja Melawan Penjajahan Gaya Baru Para Pengkhianat”

Keterangan Foto: Rekonstruksi visual Sisingamangaraja XII, pahlawan nasional dan simbol perlawanan rakyat Batak terhadap kolonialisme Belanda. Di sisi kiri gambar, terdapat kutipan editorial dari Media Ungkap Kriminal: > “Sastra Kebenaran Simbol Perlawanan Kebathilan Para Sang Pengkhianat Bangsa & Negara” yang merepresentasikan semangat kebangkitan sastra sebagai senjata melawan penjajahan gaya baru dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur kebangsaan. Visual ini menegaskan bahwa perlawanan bukan hanya melalui senjata, tetapi juga melalui pena, suara nurani, dan karya sastra perjuangan.

SUB JUDUL: Inilah Akhir Tragis Raja Pejuang dari Tanah Batak! Sastra Kebenaran untuk Membongkar Para Pengkhianat Bangsa di Zaman Kini

Oleh Tim Investigasi UngkapKriminal.com
Sumatera Utara | Edisi Khusus Sejarah dan Jihad Kalam Bangsa || Karya : Junaidi Nasution || Reporter: Ubay || Redaktur Setedi Bangun || Di Terbitkan Oleh:

P E N E R B I T
PT. UNGKAP KRIMINAL NEWS
Akte Notaris Nomor : 1
NIB No . 1009220000378
NPWP : 60.906.352.4 – 219.000 :
SK Kemenkumham : No.AHU-037464.AH.01. 30 .Tahun 2022 “Terdaftar 9 September 2022”

KANTOR REDAKSI :

Jl.Cempaka Baru No.142-A Kemayoran Jakarta Pusat – DKI Jakarta No Telp Redaksi 082283521121 – 081270958776. “Jakarta – Riau – SUMUT – Indonesia” || “JULI” 3 – 2025

“Api Perlawanan dari Tanah Batak”

Di bawah rimba tebal dan punggung bukit yang mencekam, suara gendang perang masih menggema dalam ingatan sejarah yang dikhianati:
Sisingamangaraja XII, sang raja suci, bukan hanya darah bangsawan—tetapi nyala suci dari langit Batak yang menolak tunduk kepada tirani.

Ia bukan sekadar nama di buku pelajaran. Ia adalah penjelmaan semangat jihad tanah Sumatera Utara: pemimpin spiritual, negarawan, panglima perang, dan simbol martabat tanpa kompromi.

“Lebih baik mati bermartabat daripada hidup dijajah.”
Itulah kalimat yang tak lekang ditelan zaman, disuarakan oleh Patuan Bosar Ompu Pulo Batu yang memanggul gelar sakral: Sisingamangaraja XII.

Saat Belanda menancapkan kuku besi kolonialisme, Raja Batak ini tidak menawarkan dialog palsu. Ia tidak menjual bangsanya demi kursi atau upeti. Ia memilih melawan. Dengan rakyat. Dengan kehormatan. Dengan Tuhan.

Gerilya Darah dan Air Mata

Perlawanan tidak dibeli dengan pidato, tetapi dengan darah.
Dari pegunungan Silindung ke hutan Dairi, pasukan kecilnya terus bergerak, tak kenal lelah. Belanda menyebutnya de geest uit de bergen — “roh dari gunung” — karena bayangannya selalu muncul menyergap, menghilang, lalu menyerang kembali.

Belanda putus asa. Mereka menyiksa rakyat, membakar kampung, menangkap istri dan anaknya. Tapi ia tak menyerah.
Ia tidak mencari suaka. Ia tidak berdamai demi proyek. Ia tetap tinggal di hutan. Bersama rakyat. Bersama Tuhan.

Pengkhianatan, Pengepungan, dan Kematian

Pada tanggal 17 Juni 1907, di pegunungan Dairi, dalam sebuah operasi besar-besaran, Belanda mengepung titik persembunyian sang Raja. Senjata api menggelegar.
Sisingamangaraja tertembak. Ia gugur. Anaknya, Patuan Anggi Naiborhu, ikut tewas.
Tapi ia tidak pernah tertangkap hidup-hidup. Ia tidak menyerah, walau di hadapannya berdiri barisan musuh bersenjata lengkap.

Pertanyaan untuk Generasi Sekarang: Di Mana Pewarisnya?

Kini, lebih dari seabad berlalu, suara sejarah itu memanggil:
Apakah kita masih memiliki jiwa Sisingamangaraja XII?
Ataukah negeri ini telah digadaikan kepada para pengkhianat, oligarki, dan penjajah gaya baru yang mengenakan jas, dasi, dan senyum munafik?

Indonesia tidak baik-baik saja.
Banyak dari anak negeri kini justru menjadi kaki tangan penjajah baru: menjual tanah, air, dan masa depan demi kekuasaan pribadi.
Proklamasi kemerdekaan dipelacurkan. Rakyat diadu domba. Ulama dibungkam. Aktivis dibui. Wartawan dibunuh karakter.
Sementara mereka yang mengais keuntungan dari penjajahan ekonomi dan politik justru dielu-elukan sebagai “pahlawan pembangunan.”

Catatan Intelektual Presisi Redaksi:

Sisingamangaraja XII adalah monumen hidup tentang apa arti jihad kalam dan perlawanan bermartabat.
Ia bukan milik satu suku—tetapi milik semua anak bangsa yang menolak dijajah.

Kami di UngkapKriminal.com menulis bukan untuk hiburan. Kami menulis untuk membangkitkan:
Nurani yang tertidur.
Hati yang membeku.
Dan akal yang dibius kekuasaan.

Penutup Kalam: Wahyu dan Sabda Kebenaran

“Dan janganlah kamu merasa lemah, dan jangan bersedih hati, padahal kamu adalah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang beriman.”
(QS. Ali Imran: 139)

“Barang siapa melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya — dan itu selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)

Sisingamangaraja XII mungkin telah gugur. Tapi kami menolak diam.
Karena diam dalam kebatilan adalah bentuk baru dari pengkhianatan.

Jihad Kalam harus terus menyala. Di setiap tulisan. Di setiap nurani. Di setiap rakyat yang masih mencintai bangsanya.