
OLEH KAPERWIL RIAU/PEKANBARU TIM INVESTIGATIVE || UNGKAPKRIMINAL.COM ||PRESISI || INTELIGENCY — NASIONAL || INTERNATIONAL||
“BY DERI YUSUF”
“JUNI” 13 – 2025
UNGKAPKRIMINAL.COM, RIAU —
Kawasan Hutan Giam Siak Kecil–Biosfer, yang sejak 2009 masuk dalam jaringan Cagar Biosfer Dunia UNESCO, kini kembali dalam sorotan tajam.
“Di balik gelar “warisan dunia”, aroma kuat kebocoran anggaran, manipulasi program konservasi, dan pertanyaan besar tentang aliran dana internasional kembali mencuat.
“Siapa yang bermain? Siapa yang diam? Dan siapa yang menikmati?
🌍 Apa Sebenarnya yang Terjadi?
Hutan gambut yang seharusnya menjadi benteng terakhir keanekaragaman hayati ini, kini diduga menjadi ladang proyek “konservasi semu”:
Dana konservasi dari lembaga internasional mengalir setiap tahun
Namun kerusakan ekosistem tetap masif
Kebakaran hutan terus berulang
Tumpang tindih izin HTI, sawit, dan proyek karbon tak kunjung diselesaikan
Warga sekitar menyebut kawasan hutan makin sulit diakses karena dikuasai pihak ketiga, namun tidak ada kontribusi nyata ke desa-desa penyangga.
📍 Di Mana Masalah Ini Terdeteksi?
Kawasan Giam Siak Kecil terbentang di Kabupaten Siak, Bengkalis, dan sebagian kecil Pelalawan. Tiga zona kunci:
Zona Inti (Core Zone): seharusnya steril dari aktivitas manusia
Zona Penyangga (Buffer Zone): mulai terisi HTI dan sawit
Zona Transisi (Transition Zone): menjadi wilayah rawan jual-beli izin
Ironisnya, status “biosfer” digunakan untuk legitimasi proyek-proyek karbon dan kehutanan yang tak jelas akuntabilitasnya.
⏳ Sejak Kapan Terjadi?
Dokumen investigatif menunjukkan aliran dana konservasi masuk sejak:
2007–2015: melalui WWF, Unesco-MAB, dan program REDD+
2016–2020: proyek karbon dan pembiayaan hijau dari luar negeri (Norwegia, Jerman, USAID, Green Climate Fund)
2021–2025: meningkatnya pembiayaan “blue-carbon”, namun tak diketahui ke mana dana itu tersalur
Namun tak ada laporan resmi, tak ada audit publik, dan warga sekitar hutan pun tidak mengetahui siapa penerima manfaat.
👤 Siapa yang Bertanggung Jawab?
Kejanggalan ini mengarah pada sejumlah aktor:
Perusahaan HTI yang mendapat konsesi dalam kawasan lindung (PT RAPP, PT SRL, dll.)
LSM lokal dan internasional yang mengelola dana konservasi, namun tidak transparan
Oknum dalam KLHK, Pemprov Riau, dan Pemkab Siak/Bengkalis yang membiarkan tumpang tindih izin
Lembaga donor internasional yang terus mengucurkan dana tanpa verifikasi dampak nyata
🎯 Mengapa Ini Terjadi?
Status “biosfer” digunakan sebagai tameng dari kritik publik
Proyek karbon dan konservasi dijalankan tanpa audit sosial
Negara tidak membentuk lembaga pengelola transparan berbasis masyarakat
Politik ekologi berubah menjadi proyek elite
🔍 Bagaimana Modusnya?
Laporan proyek ditulis hanya di atas kertas
Dana internasional masuk ke rekening lembaga pengelola, bukan ke masyarakat
Penggunaan istilah seperti “green fund”, “sustainable forestry” sebagai topeng
Proyek konservasi yang sebenarnya hanya memagari lahan, bukan memulihkan ekosistem
*🎙️ *Tanggapan Pakar*
Prof. Fitrian Ardiansyah (Ahli Lingkungan, Ex-UNDP Indonesia):
“Kita harus bedakan: apakah kita sedang menjaga hutan, atau hanya menjaga aliran dananya.”
Dr. Kate Dooley (University of Melbourne – pakar REDD+):
“Konservasi yang tidak melibatkan masyarakat lokal adalah kolonialisme ekologis. Dunia harus berhenti membiayai kerusakan yang dibungkus dengan istilah hijau.”
*⚖️ *Landasan Hukum*
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan
PP No. 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup
Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
Prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent) dari PBB
UNCAC dan Perjanjian Paris 2015 – pendanaan iklim harus akuntabel
*🧩 *Catatan Intelektual Presisi Redaksi*
UNGKAPKRIMINAL.COM menyatakan bahwa penyusunan artikel ini berlandaskan prinsip jurnalisme keadilan dan tanggung jawab intelektual. Semua pihak disebut berdasarkan rekam jejak dan temuan lapangan. Redaksi membuka ruang hak jawab dan klarifikasi terbuka bagi PT RAPP, PT SRL, KLHK, Unesco, dan lembaga donor manapun yang merasa disebut.
Bila benar masih ada dana dunia mengalir ke Giam Siak Kecil tanpa kontrol masyarakat, maka dunia harus ditagih pertanggungjawabannya atas nama keadilan lingkungan.
*📜 *Penutup: Hutan Adalah Amanah, Bukan Komoditas*
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia. Maka Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatannya, agar mereka kembali ke jalan yang benar.”
(QS. Ar-Rum: 41)
Maknanya: kerusakan ekologis adalah peringatan spiritual.“Barang siapa menanam pohon dan merawatnya hingga berbuah, maka setiap buah yang dimakan makhluk hidup adalah sedekah baginya.”
(HR. Ahmad)
Maknanya: Hutan bukan hanya pohon, tapi ladang pahala jika dikelola dengan benar.
📌 UNGKAPKRIMINAL.COM
Inteligensi investigatif, intelektual global, dan jihad kalam demi menyuarakan yang tak terdengar.
More Stories
Bobroknya Tata Ruang Indonesia: Ketika Empat Pulau Aceh “Dilepas” ke Sumut, Ada Apa di Balik Peta?
LEGALITAS SAWIT DI BENGKALIS DIPERTANYAKAN: JEJAK SURAT GANDA, KAWASAN BIOSFER & AKTOR DI BALIKNYA
Wilmar: Ini Bukan Sekadar Masalah Lingkungan, Ini Penjajahan Ekonomi Gaya Baru