
Sejak menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia pada 2014, Joko Widodo atau Jokowi secara perlahan namun terstruktur membentuk arsitektur kekuasaan yang sangat terpusat dan terkonsolidasi. Fenomena ini kian menguat pada periode kedua kepemimpinannya, terutama menjelang dan pasca-Pemilu 2024.
Berbagai kebijakan, keputusan politik, dan arah penegakan hukum banyak dikritik oleh pengamat demokrasi karena mengarah pada pelanggengan kekuasaan keluarga dan kroni politik. Banyak pihak menilai bahwa Indonesia sedang bergerak menuju bentuk kekuasaan yang menyerupai oligarki elektoral—bahkan dinasti politik.
Presiden Joko Widodo: Aktor sentral dalam struktur kekuasaan eksekutif dan disebut sebagai patron utama dalam konfigurasi politik keluarga.
Gibran Rakabuming Raka: Putra sulung, yang kini menjadi Wakil Presiden RI 2024 melalui jalur hukum kontroversial yang melibatkan Mahkamah Konstitusi.
Bobby Nasution: Menantu, Wali Kota Medan, kini dipersiapkan menuju panggung politik nasional.
Kaesang Pangarep: Putra bungsu, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang disebut sejumlah analis sebagai kendaraan politik keluarga.
Sejumlah Lembaga Negara: Seperti MK, KPU, Bawaslu, KPK, serta unsur di TNI/Polri yang, menurut kritik masyarakat sipil, tampak tidak independen dalam beberapa momentum krusial.
2014–2019: Dimulai dari kooptasi elite partai politik, konsolidasi relasi bisnis-politik, hingga pembiaran terhadap pelemahan KPK.
2019–2024: Makin jelas dengan revisi UU KPK, pemanfaatan aparat hukum terhadap lawan politik, dan putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang membuka jalan bagi pencalonan Gibran.
2024: Titik klimaks, saat hasil Pemilu dikritik keras oleh banyak akademisi dan kelompok masyarakat sipil atas dugaan ketidaknetralan dan manipulasi sistemik.
Karena ini menyangkut nasib demokrasi Indonesia ke depan. Bila kekuasaan bisa diwariskan lewat relasi darah, manipulasi hukum, dan dominasi terhadap lembaga independen, maka ruh reformasi 1998 bukan hanya dikhianati, tapi sedang dikubur hidup-hidup.
Menurut Dr. Marcus Mietzner, pakar politik Asia Tenggara dari Australian National University, “Indonesia saat ini berada di persimpangan: apakah tetap mempertahankan demokrasi pascareformasi, atau terjerumus ke dalam model kekuasaan otoriter bertopeng elektoral.”
Menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan (rule by law), bukan rule of law.
Pelemahan sistematis terhadap lembaga pengawas seperti KPK dan MK.
Cooptasi terhadap partai politik dengan menempatkan keluarga dalam posisi strategis.
Penggunaan narasi populis dan pencitraan untuk menutupi agenda kekuasaan.
Landasan Hukum dan HAM yang Dilanggar (Jika Terbukti)
Jika dugaan ini terbukti melalui mekanisme hukum, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran prinsip demokrasi dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Juga melanggar Pasal 28D ayat (1) tentang jaminan kepastian hukum yang adil, serta International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, yang menjamin pemilu yang bebas dan adil.
Catatan Redaksi
Artikel ini disusun berdasarkan penelusuran sumber data terbuka, laporan investigasi media nasional dan internasional, serta wawancara dengan sejumlah narasumber dan analis hukum tata negara. Semua pihak yang disebutkan berhak menyampaikan klarifikasi atau hak jawab sesuai Pasal 5 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Penutup: Kalam Keadilan
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
(QS. Al-Ma’idah: 8)
Keadilan bukanlah milik segelintir elite. Ia adalah amanah Ilahi yang harus diperjuangkan oleh setiap insan yang mencintai kebenaran dan menolak penindasan, “baik secara terang-terangan maupun melalui operasi senyap.
More Stories
AZAB PEMBOHONG DAN AWAL KEHANCURAN KETIKA DI DUNIA
“Digitalisasi atau Mark-Up?”: Dugaan Korupsi Laptop Kemendikbud Rp10 Juta Per Unit
Rismon Sianipar Angkat Bicara: Republik Jangan Jadi Komunis, Kenapa Jokowi Kebal Hukum?”